Bagaimana dengan keadaan air tempat Pak Polisi berdiri sebagaimana tampak di dalam video tersebut?Â
Jelas sekali bahwa kondisi air saat itu sedang bergerak, mengalir, sekalipun arusnya tidak terlalu kuat. Karena bergerak atau mengalir, kata genangan tidak cocok digunakan. Kata yang tepat adalah banjir.
Eufemisme atau penghalusan kata yang digunakan oleh Admin Polda Jateng mirip benar dengan pola eufemisme pada era 1980-an dan 1990-an. Kelaparan dihindari, diganti dengan kekurangan pangan. Sepintas memang benar. Orang yang kekurangan pangan bisa lapar dan kelaparan. Hanya saja, ada gejala menyembunyikan musibah.
Ada pula sebagian orang yang mengganti atau menghaluskan kata memerkosa dengan kata menggagahi. Jelas sekali makna kata menjadi semakin kabur. Apakah orang yang memerkosa dapat disebut gagah? Jelas tidak. Eufemisme sedemikian justru menyeret kita ke dalam liang gelap karena menyangka memerkosa dapat membuat pelaku menjadi gagah.
Kembali pada persoalan genangan dan banjir, Polda Jateng mestinya menghindari eufemisme cetek seperti itu. Faktanya, masyarakat di luar Kota Semarang malah sibuk memperdebatkan hal-hal takperlu alih-alih memberikan dukungan morel kepada korban banjir.
Penggunaan genangan juga menyulut kecemburuan pendukung Anies Baswedan. Di jakarta, air setinggi lutut saja selama bergerak atau mengalir akan tetap disebut banjir. Bukan genangan. Memang begitu adanya, selama luapan air itu mengalir, selama itu pula harus disebut banjir.
Selain itu, ada dampak fatal yang bisa terjadi apabila banjir diganti menjadi genangan. Seseorang berkata, "Tenang, kata polisi, masih genangan." Akibatnya kehilangan kewaspadaan. Sepele, tetapi berbahaya.
Bukankah penggunaan kata banjir justru akan membuat warga lebih waspada?
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H