Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pak Polisi, Jangan Samakan Banjir dengan Genangan

7 Februari 2021   10:04 Diperbarui: 7 Februari 2021   10:37 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (Foto: jatengprov.go.id)

Topik hangat sejak pagi tadi adalah perbedaan banjir dan genangan. Banjir tengah melanda Kota Semarang, Jawa Tengah. Seperti biasa, netizen Indonesia unggul dalam kreativitas menaja kritik. Semarang dilanda banjir, Jakarta terbawa-bawa. Ganjar Pranowo gubernurnya, Anies Baswedan terbawa-bawa. 

Ucapan belasungkawa dan doa untuk korban pun kalah dibanding misuh-misuh warganet.

Jangan heran, Kawan, media sosial memang ajang sebagian orang untuk melepas penat, luka, tawa, doa, dan caci. Poin terakhir sering sekali lebih dominan empat poin sebelumnya. Contohnya, ya, komentar atas musibah banjir di Semarang.

Ada netizen yang mencari-cari para pendengung tertentu (buzzer-Rp) yang rajin menggempur Anies tiap kali Jakarta kebanjiran. Kata warganet, giliran Jakarta kebanjiran semua mulut mangap. Giliran Semarang kebanjiran, mulut pendengung kicep. Mingkem.

Hanya saja, artikel ini tidak saya anggit untuk membahas mengapa semua perkara selalu diseret ke Jakarta. Artikel ini juga tidak saya niatkan untuk membahas arti kicep dan mangap, bukan. Kali ini saya mengudar perbedaan banjir dan genangan.

Begini pangkal soalnya. Akun resmi Polda Jawa Tengah di Twitter, @poldajateng_, menayangkan sebuah video. Pada tayangan itu, seorang polisi berdiri di tengah banjir dengan air setinggi leher. Ia sedang mengabarkan kondisi terkini sebuah titik di Kota Semarang.

Administratur akun Polda Jateng menyertakan keterangan sebai berikut.

Untuk warga Kota Semarang dan sekitarnya agar waspada, ya, beberapa titik ada genangan air. Saat ini masih terjadi hujan. Tetap utamakan keselamatan.

Ada dua seruan dalam cuitan tersebut, yakni anjuran agar tetap waspada dan tetap mengutamakan keselamatan. Namun, bukan seruan itu yang menjadi santapan warganet. Admin Polda Jateng menggunakan frasa "genangan air" untuk menggambarkan kondisi air mengalir yang sudah setinggi 1,5 meter. Bagi warganet, hal itu adalah "pengaburan makna".

Ada kemungkinan pengelola akun tersebut ingin "memperhalus musibah". Semacam keinginan agar tidak menambah-nambah kecemasan warga. Maka diksi "genangan air" dipilih alih-alih kata "banjir". Itulah pokok masalahnya.

Bagaimanapun, genangan tidak dapat disamakan dengan banjir. Bentuk dan kelas kata saja amat berbeda. Genangan kata benda, banjir kata kerja sekaligus kata benda. Jika menyangkut jenis air, banjir termasuk kata benda (nomina). Namun, jika berhubungan dengan pergerakan air, banjir adalah kata kerja (verba).

Genangan adalah tempat atau daerah yang berair. Sifatnya tidak bergerak. Air mata, misalnya. Jika hanya mengambang di pelupuk mata maka, itu genangan. Jika mengalir ke pipi, karena sudah bergerak, tidak bisa lagi disebut genangan. Jika air mata menderas, dapat pula dinamai "air matanya membanjir". Nah, makin berbeda dengan "air matanya menggenang".

Bagaimana dengan keadaan air tempat Pak Polisi berdiri sebagaimana tampak di dalam video tersebut? 

Jelas sekali bahwa kondisi air saat itu sedang bergerak, mengalir, sekalipun arusnya tidak terlalu kuat. Karena bergerak atau mengalir, kata genangan tidak cocok digunakan. Kata yang tepat adalah banjir.

Eufemisme atau penghalusan kata yang digunakan oleh Admin Polda Jateng mirip benar dengan pola eufemisme pada era 1980-an dan 1990-an. Kelaparan dihindari, diganti dengan kekurangan pangan. Sepintas memang benar. Orang yang kekurangan pangan bisa lapar dan kelaparan. Hanya saja, ada gejala menyembunyikan musibah.

Ada pula sebagian orang yang mengganti atau menghaluskan kata memerkosa dengan kata menggagahi. Jelas sekali makna kata menjadi semakin kabur. Apakah orang yang memerkosa dapat disebut gagah? Jelas tidak. Eufemisme sedemikian justru menyeret kita ke dalam liang gelap karena menyangka memerkosa dapat membuat pelaku menjadi gagah.

Kembali pada persoalan genangan dan banjir, Polda Jateng mestinya menghindari eufemisme cetek seperti itu. Faktanya, masyarakat di luar Kota Semarang malah sibuk memperdebatkan hal-hal takperlu alih-alih memberikan dukungan morel kepada korban banjir.

Penggunaan genangan juga menyulut kecemburuan pendukung Anies Baswedan. Di jakarta, air setinggi lutut saja selama bergerak atau mengalir akan tetap disebut banjir. Bukan genangan. Memang begitu adanya, selama luapan air itu mengalir, selama itu pula harus disebut banjir.

Selain itu, ada dampak fatal yang bisa terjadi apabila banjir diganti menjadi genangan. Seseorang berkata, "Tenang, kata polisi, masih genangan." Akibatnya kehilangan kewaspadaan. Sepele, tetapi berbahaya.

Bukankah penggunaan kata banjir justru akan membuat warga lebih waspada?

Salam takzim, Khrisna Pabichara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun