Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

AHY: Jika Takut Gelombang, Jangan Jadi Nakhoda

6 Februari 2021   19:26 Diperbarui: 6 Februari 2021   19:41 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TIGA orang Indonesianis, peneliti soal keindonesiaan, duduk tenang menghadap kamera. Mereka adalah Repot Isasi, Kepo Losan, dan Demo Tivasi. Tiga orang itu akan mengisi gelar wicara yang digelar oleh stasiun televisi terbesar di Republik Wekawekaweka, sebuah negara entah-berentah, guna mengulas isu kudeta Partai Demokrat di Indonesia.

Di Republik Wekawekaweka, penyematan gelar pakar, pemerhati, dan pengamat tidak dilakukan serampangan. Jika seorang guru besar terjun ke dunia politik, misalnya menjadi pengurus partai atau anggota parlemen, gelar pakar politik tidak disematkan lagi pada namanya. Pengamat militer jelas tidak akan diberikan kepada seseorang yang pernah menjadi tentara.

Begitulah kaum akademisi di Wekawekaweka menjaga kualitas kecendekiaan. Mari berkenalan dengan tiga panelis.

Repot Isasi, psikolog Universitas Takada Wekawekaweka, saban hari mengamati perkembangan psikologis rakyat Indonesia akibat peristiwa politik di negara berlambang Garuda Pancasila itu. Ia terkenal saklek, blak-blakan, dan sudah putus urat takut.

Kepo Losan, antropolog Universitas Takada Wekawekaweka, tiap hari meneliti pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Ia disebut-sebut sebagai pakar keindonesiaan lantaran hingga hari ini masih aktif melakukan kajian tentang Nusantara. Ia terkenal tegas, lugas, dan tidak kenal keder.

Demo Tivasi, guru besar komunikasi politik Universitas Takada Wekawekaweka, bertungkus lumus dengan gejolak perpolitikan di Indonesia sejak menyandang gelar doktor. Ia terkenal frontal, terbuka, dan jarang merasa ciut nyali.

Hari ini, tiga orang itu akan membahas gonjang-ganjing kudeta di Partai Demokrat. Penduduk Republik Wekawekaweka sudah lama menanti-nanti tanggapan tiga intelektual paruh baya itu. 

Rakyat Wekawekaweka penasaran mendengar analasis mereka atas AHY yang diduga oleh Moeldoko sebagai pemimpin baperan, Moeldoko yang dituduh elite Demokrat selaku penata kudeta, dan Presiden Jokowi yang disangka sebagai pemberi restu.

Segmen Pertama: Berkaca pada Sejarah

TIDAK seperti di Indonesia, gelar wicara di Republik Wekawekaweka selalu tanpa moderator. Tiap pembicara sudah tahu kapan mesti menyimak dan bilamana harus menyatakan sesuatu; paham betul cara menghargai pendapat orang sehingga tidak akan menyangkal atau menyela; dan khatam dalam perkara “berkepala dingin” sehingga tidak akan menyiramkan air teh kepada narasumber lain jikalau berbeda pendapat atau kalah argumen.

Repot Isasi angkat bicara paling awal. Tanpa basa-basi ia langsung menyelam ke dasar masalah. “Agus Harimurti Yudhoyono perlu membeli cermin, satu saja cukup, lalu berkaca di sana. Selalu ada intrik di tubuh partai politik. Kasus korupsi kader partai dan pelengseran Anas Urbaningrum menjadi awal rapuhnya partai bintang tiga itu.”

Ia menarik napas sejenak. “Ayahnya Pak AHY, Susilo Bambang Yudhoyono, ditetapkan sebagai ketua umum dalam Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Bali, 30 Maret 2013. Jadi, KLB bukanlah sesuatu yang tabu bagi Partai Biru. Jika memenuhi syarat, KLB bisa saja digelar.” [1]

Jeda selama setengah menit sudah cukup bagi Repot untuk mempersilakan pakar lain urun bicara. Kepo Losan mengangkat corong. “Ada luka komunal yang tertinggal dalam sejarah partai politik di Indonesia. Peristiwa Kudatuli, Kudeta Dua puluh Tujuh Juli (1996), tetap sebagai misteri, karena dugaan keterlibatan SBY, sekalipun dugaan itu tidak pernah bisa dibuktikan.” [2]

Dua panelis sudah angkat suara. Andaikan dua panelis itu berbicara di sebuah forum di Indonesia, kemungkinan besar sudah membuat pemirsa mengantuk sebab urat leher mereka tidak tegang, suara mereka tidak bernada ngegas, dan ekspresi mereka datar layaknya profesor mengajar di kelas.

Segmen Kedua: Yang Baik Dilanjutkan, yang Belum Baik Diperbaiki

Demo Tivasi membuka segmen kedua. Ia bertutur tentang AHY yang mudah kehilangan memori. Ia membabar tentang orasi politik AHY tatkala berpidato di depan peserta Rapimnas PD pada 10--11 Maret 2018 di Sentul Internasional Convention Center (SICC), Bogor. [3]

Kala itu, kata Demo, AHY dengan berapi-api AHY menyatakan bahwa: yang baik dilanjutkan dan belum baik akan diperbaiki. “Komunikasi politik yang dibangun oleh AHY seperti ‘menjilat ludah sendiri’. Jika masih ada yang belum baik di tubuh Demokrat, benahi dan perbaiki dulu. Jangan buka ke hadapan khalayak luas.”

Melihat Demo bersandar ke sofa biru, Kepo angkat bicara. “Apa yang dilakukan oleh AHY adalah langkah untuk memperbaiki atau membenahi partai. Kalaupun ia ‘menembak’ Moeldoko, saya pikir, itu bagian dari strategi komunikasi politik.”

Repot tidak mau kalah. Begitu Kepo berhenti, ia langsung berkata, “Saya sepakat dengan Prof Demo. Harus diingat, banyak pihak internal partai yang menuding AHY sebagai politikus karbitan. Anas sendiri secara tersirat lewat Twitter menyebutnya sebagai ‘berada di puncak, tetapi bukan pendaki’. Jadi, AHY mesti rajin membaca ulang pidato politiknya.” [4]

“Justru di situlah letak kecerdasan AHY dalam memanfaatkan peluang,” kata Kepo. “Ia tahu, rakyat Indonesia itu gampang lupa. Jangankan isi pidato yang sudah tiga tahun berlalu, koruptur yang kembali maju menjadi caleg saja bisa terpilih.”

Demo menghela napas, lalu berkata, “AHY dan lingkar terdekat mesti menengok fatwa Harold soal bagaimana komunikasi ditaja. Who says that in wich channel to whom with what effect. Itu aturan dasar. Siapa mengatakan apa, kepada siapa, menggunakan saluran apa, dan apa efek dari perkataannya.” [5]

Jika ia abaikan satu saja dari aturan dasar tersebut, tutur Demo, dampak bagi partainya bukan hanya keuntungan, melainkan juga kerugian. 

“Isu kudeta dengan menyeret nama Jokowi pasti menjanjikan laba elektoral," kata Demo, "tetapi dapat juga menyuguhkan rugi emosional. Demokrat bisa saja kehilangan simpati rakyat, karena bikin gaduh saat Indonesia sibuk menghadapi pandemi.”

Segmen Ketiga: Jika Takut Gelombang, Jangan Menjadi Nakhoda

Repot membuka segmen ketiga. “Tilikan Prof Demo keren,” katanya seraya tersenyum. “Partai Demokrat saat ini sedang mencari posisi tawar di hadapan rakyat. Koalisi enggan, oposisi setengah hati. Slogan bersinergi dengan rakyat pun dikumandangkan. AHY berusaha mendongkrak citra partai dengan meniru metode ayahnya, menjadikan diri sebagai korban agar mendulang simpati elektoral.”

“Pada sisi lain berarti mengumbar borok internal bisa saja memicu perasaan antipati di hati rakyat Indonesia,” ujar Kepo menimpali. “Jika AHY kurang wawas, tidak waspada, salah-salah bisa terjerembap ke dalam lubang yang ia gali sendiri.”

“Begini,” kata Demo sambil mengusap-usap kumis, “saya teringat desakan kepada Anas agar ia mundur dari kursi ketua umum. Saat itu Anas bermain metafor dan metomini. Ada dua hal yang saya catat.” Ia berhenti sejenak dan membuka diari. “Saat itu Anas menyatakan bahwa ada unsur politik para Sengkuni dan nabok nyilih tangan.”

Repot mendeham. “Tunggu. Apakah itu berarti AHY sekarang sedang ‘nabok nyilih tangan’?”

“Bisa jadi,” jawab Demo. “Ia menyurati Jokowi. Artinya, ia meminjam tangan Pak Presiden untuk menabok Pak Moeldoko yang ia duga sebagai penata kudeta.”

Kepo menggeleng-geleng. “Tidak, tidak. Kalau AHY begitu, berarti ia memamerkan fakta bahwa ia belum matang. AHY harus tahu, politik tidak sepi dari intrik. Hanya Gang Sapi yang boleh sepi intrik. Matang atau tidak matang, sekarang waktunya bagi AHY untuk membuktikan diri.”

“Betul,” kata Repot. “AHY harus mampu menyelesaikan konflik partainya. Ia sekarang menjadi nakhoda sebuah kapal besar bernama Partai Demokrat. Kalau ia takut gelombang, turun dari kapal. Samudra tenang tidak pernah menghasilkan nakhoda mumpuni.”

Demo tersenyum. “Jangan mengambil samudra sebagai metafor. Kita tidak tahu apakah AHY itu mabuk laut atau tidak.”

Penutup: Debat Tanpa Debat

Begitulah. Gelar wicara yang sejatinya merupakan panel debat ternyata berlangsung dengan lancar tanpa sengketa. Memang begitulah perdebatan di Republik Wekawekaweka. Tidak ada debat kusir, tidak ada silat lidah, tidak ada mulut yang asbun.

Negara yang dipimpin oleh presiden rendah hati, Profesor Kong Fey Lix, memang sangat maju dalam soal kecendekiaan. Warganet di sana tidak senang menyindir tanpa data, tidak suka menghujat tanpa fakta, tidak doyan bercengkerama yang nirfaedah. Kong Fey Lix berhasil membangun budaya debat ilmiah di negerinya.

Tiga Indonesianis itu meninggalkan ruangan. Sebuah konklusi tertayang di layar raksasa. AHY: Jika Takut Gelombang, Jangan Jadi Nakhoda!

Tabik, Khrisna Pabichara

Rujukan:

  1. SBY Terpilih sebagai Ketum Demokrat. Sumber: Wikipedia.org. Diakses 6 Februari 2021 pukul 12:30 WIB.
  2. Tiga Kesaksian Soal Peran SBY dalam Kasus Kudatuli. Sumber: Tempo.co. Diakses 6 Februari 2021 pukul 12:31 WIB. 
  3. Yang Baik Dilanjutkan, yang Belum Baik Diperbaiki. Sumber: Demokrat.or.id. Diakses 6 Februari pukul 12:18 WIB)
  4. Di Puncak, tapi Bukan Pendaki. Sumber: Sindonews.com. Diakses 6 Februari pukul 12:17 WIB)
  5. Mulyana. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. 2005. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun