Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Dimarahi Atasan? Menulislah Jika Ingin Lebih Bahagia

2 Februari 2021   12:12 Diperbarui: 2 Februari 2021   12:40 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ANDA sedang berduka karena sesuatu yang menyedihkan baru saja menimpa Anda? Tulislah. Anda marah karena atasan Anda marah-marah tanpa sebab yang jelas? Tulislah. Anda riang hati karena menemukan selembar duit seribu rupiah di jalan? Tulislah.

Saya pernah sangat marah karena merasa direndahkan, disepelekan, dan tidak dianggap sebagai manusia. Saya tinju dinding berkali-kali, keras, lagi dan lagi, terus begitu hingga kepalan saya berdarah, tetapi sakit hati saya tidak sembuh.

Saya berbalik, bersandar ke dinding, membiarkan tubuh menggelosor hingga terjelepak di lantai, mengucek-ngucek rambut sendiri, terdiam, merasakan hening memasuki dan merasuki hati, lalu saya menarik napas sebanyak-banyaknya dan mengembuskan sekencang-kencangnya.

Ternyata itu belum cukup memulihkan perasaan saya. Tenang masih jauh dari dada. Jantung masih berdetak keras. Keringat dingin masih berasa di pori-pori kening. Pundak dan tengkuk masih berat seakan-akan tertindih batu besar.

Lalu, saya berdiri dan berjalan ke meja kerja. Membuka laptop, menyalakannya, dan menulis. Ya, hanya menulis. Tidak ada kerangka, tidak ada konsep, tidak ada tema. Pendek kata mengetik begitu saja. Saya tidak memikirkan sedang mengetik apa. Bodoh amat.

Plkemtiaonrspem brikegzmveoagwptz. Uh. Mrekzprtaplkmvxcd. Pft. Rrrgghhkemalgrr. Uzgarkhanrlakepwmaydp. Uft. Mzlopwmabck. Begitu. Tanmakna. Nirfaedah. Tidak jelas. Seperti balita menggerundel. Bagai kakek-kakek menyinyir.

Ajaibnya, saya tertawa keras sewaktu membacanya. Hilang kesal. Hilang sedih. Hilang amarah. Saya baca ulang, tertawa lagi. Kepala yang berat bagai ditindih setruk batu gelondongan, tiba-tiba hilang sendiri. Pundak saya menjadi ringan.

Saat itu saya taktahu apa yang saya tulis. Saya taktahu erti kata “mzlopwmabck”. Saya taktahu makna frasa “plkemtiaonrspem brikegzmveoagwptz”. Ajaibnya, saya bahagia. Begitulah. Sejak saat itu, teori bahwa menulis dapat menjadi terapi trauma saya praktikkan. Langsung.

Hasilnya? Saya tertawa. Saya bahagia. O ya, artikel ini adalah sekuel dari artikel sebelumnya, Niat Menulis supaya Bahagia Malah Makan Hati.

***

BAGAIMANA bisa kejadian traumatis dapat kita sembuhkan dengan menulis? Bisa saja. Tragedi sepahit apa pun dapat kita ringankan lewat menulis. Trauma semenyakitkan apa pun bisa kita obati dengan menulis. Rahasianya cuma dua: tahu caranya dan rajin melakukannya.

Ketika Anda merasa dongkol bukan kepalang karena seseorang di tempat kerja, entah atasan entah rekan, mengintimidasi sanubari Anda dengan perlakuan atau perkataan buruk, tidak usah ke toilet untuk menangis diam-diam. Telan dulu. Tenangkan hati. Pasti tidak mudah, tetapi jauh lebih baik daripada Anda memperlihatkan ketakberdayaan atau kemarahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun