Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kepada Pak Bakri di DPR RI, Perbanyak Piknik di NTT

31 Januari 2021   23:28 Diperbarui: 1 Februari 2021   02:46 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Festival Fulan Fehan di Kabupaten Belu, NTT (Foto: IDN Media/Selvia Yunisca)

Yang mulia Bapak Bakri.

Dengan takzim saya agihkan surat cinta kepada Pak Bakri. Sebelumnya mohon maaf setulus hati jika kedatangan surat ini mengusik damai hati, mengganggu aktivitas sehari-hari, atau menyulut rasa takenak dan taknyaman di hati Bapak.

Saya yakin, Bapak tidak mengenal saya. Tidak apa-apa. Saya juga baru saja mengenal Bapak. Itu juga karena cuitan warganet di Negeri Twitter. Ada yang aneh, Bapak? Ya, maaf, baru kenal sudah mengirim surat. Itulah kekuatan cinta. Tanpa cinta, surat ini tidak akan pernah ada.

Selaku anggota Komisi V DPR RI, saya paham bahwa Bapak punya "kuasa kata" dan "kuasa bahasa" untuk menyambung lidah rakyat. Saya juga paham bahwa suara Bapak dilindungi oleh undang-undang. Namun, sudilah Bapak menyimak suara hati hamba sahaya ini.

Maka dari itu, izinkan saya bentang alasan mengapa surat ini mesti saya anggit. Saya yakin, Bapak sudah tahu alasan saya. Hanya saja, perlu saya pertegas di sini, saya sebatas ingin urun saran soal pernyataan Bapak. Mohon maaf, ya, Pak. Mari kita bertukar kata dengan kepala dingin.

Pemandangan di Fulan Fehan, Belu, NTT (Foto: Twitter/@yolasevlywerti)
Pemandangan di Fulan Fehan, Belu, NTT (Foto: Twitter/@yolasevlywerti)
Kata Bapak, tidak ada tempat wisata yang istimewa di Nusa Tenggara Timur selain komodo. Itu menyedihkan untuk ukuran seorang anggota DPR. Tidak, warga NTT tidak pedih hati. Mereka hafal banyak tempat indah di NTT. Tidak, penyuka tempat-tempat indah di Nusantara tidak perih hati. Mereka paham, sejak dahulu Danau Kelimutu sudah tersohor. Jadi gambar uang lima ribu rupiah pula. 

Saya, mungkin juga yang lain, justru iba hati kepada Bapak. Betapa tidak, pernyataan Bapak merendahkan martabat Bapak sendiri. Itulah sebabnya ada petuah "mulutmu harimaumu". Saya sampat terkaget-kaget membaca pernyataan Bapak di Detik.com.

"Saya kemarin diajak teman-teman Komisi V kunjungan ke NTT. Tidak ada yang istimewa di sana, Bu, paling yang istimewa itu komodonya saja. Lihat pantai, lihat apa, di tempat saya di Jambi, Bu, banyak pantai begitu."

Bukankah demikian pernyataan Bapak? 

Lagi-lagi saya mesti meminta maaf. Selaku anggota parlemen, komentar Bapak harus berkualitas dan keren. Kenapa? Karena kata-kata yang Bapak lontarkan berdampak bagi khalayak, baik dampak anggaran maupun kebijakan. Berbeda dengan ocehan pecatur amatir di warkop depan rumah saya. Tidak memengaruhi kebijakan negara, apalagi anggaran.

Pemandangan indah di Lembata (Foto: Twitter/@Bang_Bonaa)
Pemandangan indah di Lembata (Foto: Twitter/@Bang_Bonaa)
Yang mulia Bapak Bakri.

Saya percaya, Bapak sudah melakukan kunjungan kerja bersama kolega di Komisi V. Namun, dengan waktu kunjungan yang terbatas (plus kongko dan rebahan di hotel), pasti masih banyak tempat yang belum Bapak datangi. Warganet sudah menyorongkan banyak contoh, Pak.

Saya juga tahu bahwa Bapak sudah meminta maaf. Bapak juga sudah mengakui, tidak tebersit secuil pun niat buat meremehkan atau merendahkan masyarakat NTT. Harap maklum juga jika banyak orang yang tertawa miris karena pernyataan Bapak yang jauh dari kenyataan. Rakyat Indonesia memang sedang butuh hal-hal yang lucu.

O ya, seorang warganet sudah menyodorkan empat destinasi wisata selain Pulau Komodo. Sudahkah Bapak melihatnya? Jika belum, mintalah staf administrasi atau tenaga ahli Bapak untuk mencari saran Harival Zayuka di twitter. Saya yakin, SAA dan TA Bapak bisa menemukannya.

Komentar atas cuitan Harival sudah banyak, Pak. Tinggal gulir atas-bawah untuk membaca ribuan twit kutipan. Di situ tersaji narasi dan foto-foto indah. Bukan sebatas keindahan alam, melainkan sekaligus kearifan lokal. Bapak tinggal pilih mau ke mana. 

Kalau butuh pendamping, saya siap menemani Bapak. Maaf, Pak, saya mendeham dulu. Ehem! Di sana juga banyak teman saya yang siaga menemani Bapak. Mau ke Maumere bisa, mau ke Sumba bisa. Bahkan ke Ende dan Rote juga bisa, Pak. 

Bahwa Bapak berkata demikian lantaran merasa ada ketidakadilan anggaran, itu boleh. Bapak merasa ketidakadilan itu dapat memantik kecemburuan. Itu sah. Meski begitu, Bapak tidak perlu menjatuhkan satu daerah untuk mengangkat dari lain. Juru nonkrong di warkop depan rumah saya saja tidak sebegitunya, Pak.

Pasir putih terbentang indah, panjang berkilauan, menunggu lidah ombak tiba melabuhkan lelah (Foto: Twitter/@kwonfyusing)
Pasir putih terbentang indah, panjang berkilauan, menunggu lidah ombak tiba melabuhkan lelah (Foto: Twitter/@kwonfyusing)
Yang mulia Bapak Bakri.

Demikian surat cinta ini saya sampaikan ke hadapan Bapak. Saya senang dan bahagia apabila Bapak sudi memperbaiki pola komunikasi, mengingat posisi Bapak selaku penerus aspirasi rakyat jelata semacam saya. Terima kasih, Pak.

Sebagai penutup, Pak, izinkan saya agihkan petuah leluhur dari Makassar. Tutuki ri kana-kana, ingakki ri panggaukang. Berhati-hatilah pada tutur kata, waspadalah pada perbuatan. Dengan begitu, mustahil menjatuhkan daerah orang untuk mengangkat daerah sendiri.

Ada juga petuah leluhur dari Tanah Karo yang saya nukil dari sahabat saya, Teopilus Tarigan. Bas babahna sungarangna. Hendaklah menjauh dari "mulut beracun atau mulut dengan kata-kata yang menusuk". Dengan begitu, Bapak Bakri akan terhindar dari pernyataan yang merendahkan martabat sendiri atau menyakiti hati orang lain.

Terakhir, Pak. Perbanyaklah piknik ke NTT. Setidaknya, sesekali tonton acara Si Bolang sungguhpun Bapak sibuk mengurus rakyat. Kalau bisa studi banding ke pelosok Nusantara, jangan ke luar negeri melulu. Tidak enak kalau teman main catur saya dari Sunda bilang, "Kamana wae, Bos?"

Khrisna Pabichara, 31 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun