Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik di Mata Joe Biden

31 Januari 2021   06:06 Diperbarui: 31 Januari 2021   15:55 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik tidak harus menjadi api berkobar-kobar yang menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya. ~Joe Biden, Presiden Amerika Serikat

RABU, 20 Januari 2021, Amerika Serikat akhirnya punya presiden baru. Donald Trump kalah. Suka tidak suka, ia mesti lengser dari kursi presiden. Mau tidak mau, ia harus meninggalkan Gedung Putih. Rela tidak rela, ia mesti menyerahkan singgasana kepada presiden baru--Joe Biden.  

Trump hanya bertahan satu periode. Ia gagal mempertahankan kursinya. Narasi kecurangan kerap ia dengungkan, tetapi seperti biasa tidak lebih dari gentong kosong yang rapuh--sudahlah berbunyi tidak nyaring, pecah dalam sekali pukul pula.

Rakyat Amerika Serikat melimpahkan harapan baru kepada presiden baru. Joe Biden, petarung dari Delaware, terkenal tangguh menghadapi tekanan derita. Pada 1972, beberapa pekan seusai terpilih menjadi senator termuda di Amerika Serikat, tragedi nahas menimpa keluarganya.

Kecelakaan mobil merenggut nyawa istrinya, Neilia. Putrinya yang baru berusia setahun, Naomi, juga meninggal pada kecelekaan mobil itu. Dua putranya, Hunter dan Beau, terluka parah. Biden sudah tahan melawan nestapa. Orang-orang Paman Sam mengetahui kemampuannya dalam mengatasi tragedi itu.

Betapa tidak, setiap hari ia pergi-pulang dari Delaware ke Washington DC demi mengucapkan “selamat malam” kepada dua putranya. Beban kerja selaku senator, letih menempuh perjalanan dengan kereta selama 1,5 jam, dan tanggung jawab selaku orangtua tidak menyurutkan tekad Biden.

Biden terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ketika pandemi korona merajalela. Tidak dapat dimungkiri, negara adidaya itu saat ini menjadi negara dengan warga terpapar korona terbanyak di dunia. Tanggung jawab utamanya pada masa awal selaku presiden, tentu saja, mengatasi dampak pandemi korona.

Pada sisi lain, sisa-sisa pertarungan melawan Trump masih berasa. Luka masih menganga. Tidak heran jika banyak kalangan yang menunggu-nunggu pidato politik, pada sisi lain dapat pula disebut pidato kemenangan, ketika Biden mengangkat sumpah sebagai presiden.

Politikus yang matang di kancah politik Amerika Serikat itu menaburkan benih-benih harapan. Biden bukan politikus abal-abal. Pengalaman delapan tahun mendampingi Obama juga menjadi bekal baginya untuk memimpin Amerika Serikat.
***

Senyum cerah Joe Biden setelah dilantik (Foto: AP Photo/Patrick Semansky)
Senyum cerah Joe Biden setelah dilantik (Foto: AP Photo/Patrick Semansky)

SETIDAKNYA ada tiga hal penting yang dapat kita petik dari pandangan politik Biden.

Pertama, politik tidak boleh menghancurkan segala hal. Begitulah fakta yang tersisa dari pesta demokrasi. Pendukung saling gesek, pengusung saling gasak. Bertetangga tidak saling menyapa, bersahabat tidak saling menjura. Semula berkawan, ujung-ujungnya berlawan.

Warisan luka akibat pesta demokrasi itulah yang mesti diobati dan harus disembuhkan. Dalam pidato perdananya, Biden dengan tegas menyatakan, “Politik tidak harus menjadi api berkobar-kobar yang menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya.”

Sekalimat pesan yang sarat makna. Mudah dicerna, tetapi sulit diwujudkan. Perseteruan selama persaingan pilih-memilih kadang bertahan lama. Para calon sudah berangkulan, para pendukung masih bermusuhan.

Alangkah elok jikalau seruan politikus kelahiran 20 November 1942 di Pennsylvania itu kita camkan dan renungkan. Kalau bisa, kita praktikkan.

Kedua, pemimpin bagi semua. Bukan hanya luka kontestasi yang disisakan pesta demokrasi. Ada lubang menganga yang dapat menjebak seseorang yang baru terpilih. Turbulensi demokrasi terjadi di mana-mana. Setelah seseorang menang, terkadang hanya kawan yang diindahkan. Adapun lawan, diabaikan sesuka hati. Tidak usah menutup mata, hal itu terjadi di mana-mana.

“Saya akan bekerja keras bagi meraka yang tidak memilih saya, sama kerasnya bagi mereka yang memilih saya,” ujar Biden, “kita mulai mendengarkan satu sama lain , bertemu satu sama lain, dan menunjukkan rasa hormat satu sama lain lagi.”  

Sungguh indah pemandangan di alam demokrasi apabila pemimpin yang terpilih tidak rangkul pilih. Tidak seperti yang sering kita lihat dewasa ini. Kawan dipeluk, lawan dipukul. Kawan dapat jabatan, lawan dapat angan-angan. Kawan dijauhkan dari meja hijau, lawan didekatkan pada pengadilan.

Pemimpin yang terpilih harus menjadi pemimpin bagi semua, seperti petuah Biden, bukan semata-mata bagi para pemilihnya.

Ketiga, bersama-sama mewujudkan harapan. Setelah luka kontestasi dan turbulensi demokrasi, pesta pilih-memilih dapat pula menimbulkan ancaman perpecahan. Bangsa dan negara terkotak-kotak, jiwa kebangsaan terkoyak-koyak. Ancaman perpecahan itu terlihat di mana-mana. Terang dan sangat nyata.

“Bersama-sama menuliskan kisah pengharapan, bukan ketakutan; persatuan, bukan perpecahan; terang, bukan gelap,” kata Biden, “bersama-sama menjaga martabat, cinta dan penyembuhan, serta kebesaran dan kebaikan.”

Seusai pesta demokrasi, kebencian masih tersebar terus-menerus. Hujat-menghujat tiada akhir, caci-mencaci tiada henti. Segala nama binatang terbawa-bawa, kadang setan dan iblis pun terseret-seret. Padahal, pesta demokrasi digelar demi memilih pemimpin baru, menjalin harapan baru, dan memburu cita-cita baru.

***  

Joe Biden saat berkampanye (Foto: BBC World)
Joe Biden saat berkampanye (Foto: BBC World)

BEGITULAH. Politik, seperti pesan Joseph Robinette Biden Jr., tidak perlu menjadi alat untuk menyulut kekerasan. Apalagi perkakas untuk menghajar lawan. Kita perlu lebih gigih belajar. Paling tidak, belajar lebih dewasa dalam berpolitik. Pesta demokrasi ada baiknya kita akhiri dengan adegan berangkulan, bukan berpukulan.

Jika permusuhan terus kita kobarkan, satu tahun pertama setelah pesta demokrasi akan dipenuhi kebencian. Tahun kedua masih sarat dengan kemarahan. Tahun ketiga sibuk dengan kasak-kusuk pencalonan. Tahun keempat sesak dengan rencana permusuhan baru. Tahun kelima kebencian tersulut lagi.

Lalu, kapan kita mulai bersatu?

Salam takzim, Khrisna Pabichara

Rujukan:

  1. Pidato Lengkap Pelatikan Joe Biden. Kompas.com. 21 Januari 2021. Diakses 30 Januari pukul 12.20 WIB.
  2. Politik tak Seharusnya Jadi Penyulut Kekerasan. Kompas.com. 21 Januari 2021. Diakses 30 Januari pukul 12.21 WIB. 
  3. Profil Joe Biden. Kompas.com. 8 November 2020. Diakses 30 Januari pukul 12.25 WIB. 
  4. Profil Joe Biden. Detik.com. 22 Juli 2020. Diakses 30 Januari 2021 pukul 12.28 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun