Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik di Mata Joe Biden

31 Januari 2021   06:06 Diperbarui: 31 Januari 2021   15:55 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Warisan luka akibat pesta demokrasi itulah yang mesti diobati dan harus disembuhkan. Dalam pidato perdananya, Biden dengan tegas menyatakan, “Politik tidak harus menjadi api berkobar-kobar yang menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya.”

Sekalimat pesan yang sarat makna. Mudah dicerna, tetapi sulit diwujudkan. Perseteruan selama persaingan pilih-memilih kadang bertahan lama. Para calon sudah berangkulan, para pendukung masih bermusuhan.

Alangkah elok jikalau seruan politikus kelahiran 20 November 1942 di Pennsylvania itu kita camkan dan renungkan. Kalau bisa, kita praktikkan.

Kedua, pemimpin bagi semua. Bukan hanya luka kontestasi yang disisakan pesta demokrasi. Ada lubang menganga yang dapat menjebak seseorang yang baru terpilih. Turbulensi demokrasi terjadi di mana-mana. Setelah seseorang menang, terkadang hanya kawan yang diindahkan. Adapun lawan, diabaikan sesuka hati. Tidak usah menutup mata, hal itu terjadi di mana-mana.

“Saya akan bekerja keras bagi meraka yang tidak memilih saya, sama kerasnya bagi mereka yang memilih saya,” ujar Biden, “kita mulai mendengarkan satu sama lain , bertemu satu sama lain, dan menunjukkan rasa hormat satu sama lain lagi.”  

Sungguh indah pemandangan di alam demokrasi apabila pemimpin yang terpilih tidak rangkul pilih. Tidak seperti yang sering kita lihat dewasa ini. Kawan dipeluk, lawan dipukul. Kawan dapat jabatan, lawan dapat angan-angan. Kawan dijauhkan dari meja hijau, lawan didekatkan pada pengadilan.

Pemimpin yang terpilih harus menjadi pemimpin bagi semua, seperti petuah Biden, bukan semata-mata bagi para pemilihnya.

Ketiga, bersama-sama mewujudkan harapan. Setelah luka kontestasi dan turbulensi demokrasi, pesta pilih-memilih dapat pula menimbulkan ancaman perpecahan. Bangsa dan negara terkotak-kotak, jiwa kebangsaan terkoyak-koyak. Ancaman perpecahan itu terlihat di mana-mana. Terang dan sangat nyata.

“Bersama-sama menuliskan kisah pengharapan, bukan ketakutan; persatuan, bukan perpecahan; terang, bukan gelap,” kata Biden, “bersama-sama menjaga martabat, cinta dan penyembuhan, serta kebesaran dan kebaikan.”

Seusai pesta demokrasi, kebencian masih tersebar terus-menerus. Hujat-menghujat tiada akhir, caci-mencaci tiada henti. Segala nama binatang terbawa-bawa, kadang setan dan iblis pun terseret-seret. Padahal, pesta demokrasi digelar demi memilih pemimpin baru, menjalin harapan baru, dan memburu cita-cita baru.

***  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun