PADA satu ketika kamu ingin sekali menulis. Ide sudah berjingkrak-jingkrak di kepala, lalu sebuah pesan masuk ke aplikasi perpesanan milikmu. Ternyata dari si Sayang. Bangke, janji temu nanti malam batal. Buyar semua. Otakmu butek. Pikiranmu mumet. Hatimu keruh. Kausebut itu bad mood. Gagal sudah.
Dulu saya juga sering mengalami hal seperti itu. Sebagai lelaki perasa, hati saya mudah sekali pindah dari riang tiada terkira menuju keruh tiada tepermanai. Jangankan sakit hati. Baru duduk dan mengetik sekalimat, terus ada yang datang menanyakan atau mengatakan sesuatu, uh, buyar semua.
Kalau sudah begitu, niat menulis kontan ambyar. Pupus. Lalu, pada satu ketika saya membaca sebuah buku tentang menggunakan musik sebagai pemicu ide. Saya praktikkan sekali, gagal. Dua kali, masih gagal. Tiga kali, gagal lagi. Apakah saya menyerah? Saya bukan penganut mazhab putus asa. Gagal, ya, coba lagi.
Hingga satu ketika hati saya berlamur rasa sedih. Dapat kabar Ibu saya sakit. Kala itu saya masih kelas 2 SMA. Saya bingung karena tidak bisa pulkam untuk menjenguk Ibu. Namanya juga anak kosan, tengah bulan masih bernapas saja sudah lumayan.
Saya masuk kamar dan memutar lagu Mother, How Are You Today. Suara mendayu duet vokalis cewek mengayun perasaanku. Harmoni rasa Alice May dan Caren Wood bersatu menjernihkan hatiku. Tak dinyana, lahirlah puisi Riwayat Luka.
Sejak saat itu, tiap-tiap saya menduga bakal buntu saat menulis, saya putar musik. Kadang lagu, kadang musik. Kadang lagu populer, kadang musik klasik. Apa saja. Saya tahu sudah, musik dapat memancing banjirnya ide di kepala saya.
Inilah sekuel keempat dari serial Intuisi, Kawan. Sekuel ini bertutur tentang bagaimana iringan musik bisa membantu ide mengalir. Bahkan, membanjir. Tentu saja kamu pasti punya kebiasaan sendiri, punya pemancing ide sendiri, jadi anggap tulisan ini sebagai pembanding sahaja.
***
SAYA menganggap kamu sudah membaca sekuel pertama (Tiga Strategi Cespleng Menggali Intuisi), sekuel kedua (Tahukah Kamu, Kuasa Intuisi bagi Penulis), dan sekuel ketiga (Kiat Menulis dalam Keadaan Mengalir). Dengan begitu, persepsi kita tentang intuisi dan keadaan mengalir sudah seimbang dan setimbang.
Menulis sejatinya rangkaian aktivitas berpikir kreatif, mengingat sesuatu, menggali data dan rasa, mendaras fakta, dan menyuguhkannya dalam bentuk tulisan. Dengan demikian, menulis adalah aktivitas emosi--nilai dan sikap (afektif), keterampilan (psikomotorik), dan pengetahuan (kognitif). Tiga pilar itu yang menyangga kualitas satu tulisan.
Kita tidak bisa menafikan bahwa emosi merupakan pengalaman subjektif yang inheren atau melekat pada tiap manusia. Intuisi bermain di area emosi. Jadi, kehadiran intuisi penting bagi kelahiran emosi. Di situlah pentingnya merangsang intuisi, lalu intuisi mendorong emosi, dengan menggunakan pemantik. Salah satunya, musik.
O ya, saya mengawali tulisan ini dengan entakan flute Antonio Vivaldi memainkan Flute Concerto No. 10. Alun flute menurunkan gelombang otak dan detak jantung saya. Dengan begitu, saya bisa memantik relaksasi sehingga bisa berkonsentrasi penuh.