Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku Ingin Berenang-renang di Telaga Bening Matamu

29 Januari 2021   21:54 Diperbarui: 30 Januari 2021   08:39 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku ingin memelukmu dari belakang, sebab katamu itulah pelukanku yang paling menenangkan (Ilustrasi: womantalk.com)

/1/

Aku hanya ingin sembuh. Hanya itu. Jika aku sembuh, kita bisa bersisian lagi, berdekapan lagi, bertukar cerita lagi, dan hal-hal menyenangkan yang mudah kita lakukan untuk membahagiakan hati. Aku hanya ingin sembuh. Hanya itu. Biar kamu dan aku tak berjauhan lagi.

Banyak yang ingin kuceritakan kepadamu kalau aku sembuh. Tentang Whatsapp yang kini getol menjanjikan keamanan data pribadi, tentang tim hukum Eigerindo yang bikin blunder fatal, tentang Presiden yang meminta rakyat mewakafkan harta, tentang Menteri Keuangan yang akan menarik pajak pulsa, tentang tetangga yang buang sampah di depan rumah. Banyak sekali.

Ah, tidak. Aku lebih ingin mengajakmu menjenguk kenangan.

Masih ingatkah kamu ketika pertama kali menginjak tanah kelahiranku? 1 Juni 2015. Itulah hari ketika kamu tiba di tanah kelahiranku, Jeneponto, tanah para petarung ulung. Kamu tiba dengan dada yang katamu berdegup keras, begitu keras sehingga mengalahkan deru angin yang meliuk-liukkan batang lontar.

Sungguh, kamu menyukai pertemuan dengan ibuku. Pertemuan pertama--yang ternyata menjadi pertemuan terakhir. Kamu bilang, aku beruntung karena aku lahir dari rahim seorang pencinta sejati, aku dibesarkan oleh seorang perempuan penyayang, aku diasuh oleh ibu paling ibu.

Kamu juga. Kamu lahir dari rahim perempuan paling ibu, diasuh oleh perempuan paling tabah, perempuan yang mengajarimu cara mengasihi dan mencintai, perempuan yang menunjukkan hal indah dalam hidupmu. Kamu juga bilang, kau akan menyukai pertemuan dengan ibuku.

Akhirnya kamu tahu tanah asalku. Aku lahir di sebuah kampung yang jauh dari bising kota, yang terhindar dari penat macet, yang mata air begitu sukar ditemukan, yang susah sinyal dan takbisa menonton apa-apa di televisi jika parabola ngadat.

Ajaibnya, kamu menyukai kampung kelahiranku, menyukai keramahan keluargaku, menyukai adat-istiadat yang unik di kampungku, menyukai kue-kue dan makanan khas daerahku. Tentu saja, makanan yang belum pernah kautemui di tempat lain: coto kuda.

Sungguh, aku senang karena kurasa aku tidak salah pilih. Aku senang karena ibuku menyukaimu dan kau juga menyukai ibuku. Katamu, perempuan yang melahirkan aku adalah juga ibumu. Tiga hari. Hanya tiga hari kamu bertemu ibuku.

Dua belas hari kemudian, ibuku dipanggil oleh-Nya. Aku ingat benar pesan terakhir beliau. Jika hatimu merasa jatuh di tempat yang tepat, lupakan kegagalanmu pada masa lalu, sebab masa depan menjanjikan kedamaian. Kamulah, kata ibuku, hati damai yang kudambakan itu.

Ingatanku kembali pada hari ini, pada hari ketika berbutir-butir pil dan bersendok-sendok obat sirop mesti kuhabiskan agar bersua jalan sembuh, agar bertemu jalan untuk berjumpa denganmu. Ah, terserah Tuhan saja!

Siang ini aku belum bisa melihat matamu. Kamu tetap harus berkantor. Aku hanya bisa menyemangatimu. Kamu tangguh, sangat tangguh. Ayah sakit, ibu baru pulih, lelakimu juga sakit. Tangguhlah!

/2/

"Aku menyukaimu karena kau berpendirian teguh dan berani mengambil risiko."

Begitu katamu di dangau di kebun adikku, enam tahun lalu di Jeneponto, pada satu pagi yang panas dan lengang.

"Kita akan melewati cinta yang terjalin 'dari jarak jauh'," katamu lagi, "jadi kamu harus lebih berani. Menikah denganku butuh keberanian dan aku yakin kamu memilikinya. Kamulah masa depanku, aku tahu itu, dan aku meyakininya."

Aku ingat, dulu aku berterima kasih karena kamu menerima keadaan keluargaku, mau mandi dengan air yang sedikit asin dan beraroma laut, bersedia makan dengan cara duduk bersila, suka berangin-angin di beranda rumah panggung kakakku, dan tetap mencintaiku dengan ketulusan yang penuh.

Pada hari ketika aku hanya bisa menatap langit-langit kamar, aku ingin melihat mata sendumu. Aku tidak mau mendengar kamu berkata apa-apa. Kata-katamu membuat tenggorokanku kering dan lidah dan leher dan dada dan perutku mendadak hangat. Terlebih, mataku.

Aku tidak mau mendengar kata apa pun darimu, karena aku ingin mendengar degup jantungku ketika merasa bahagia menatap matamu. Aku tidak ingin mendengar kalimat apa saja, karena aku senang menikmati kebahagiaan memancar dari matamu. Kurasa "anging mammiri" membisikkan pesan damai di telingaku.

Cinta tidak pernah berkenalan dengan putus asa, apalagi mengintiminya. Jangan cemas. Aku akan sembuh. Atas kuasa Tuhan, aku pasti sembuh.

/3/

Aku tidak ingat kapan persisnya aku sebahagia dan sesedih ini.

Mestinya orang yang sedang berbahagia terbebas dari perasaan dan pikiran yang menyusahkan dan menyedihkan, tetapi hatiku susah karena harus berpisah dengan suasana membahagiakan dan penuh kebahagiaan.

Jauh darimu memang melemahkan sendi tulang-tulangku. Jauh darimu membuat tubuhku tidak lebih dari seonggok tulang dan daging. Pukul lima sore. Dari jendela kamar, kemilau matahari membawa ingatanku mengembara.

Kembali ke Makassar, enam tahun lalu, tiga jam setelah kau menyaksikan air mata ibuku, kita bertukar air mata di Bandara Sultan Hasanuddin. Kita tunggu pesawat yang akan membawamu ke Jakarta, yang akan memisahkan kita, yang akan menjauhkan kita.

Lalu, kuceritakan kepadamu kisah sepasang kekasih yang cinta-mencintai hingga mati, yang memilih mati daripada dipisahkan atau terpisahkan, yang memilih kematian daripada hidup yang menyengsarakan.

Kamu masih ingat kisah itu? Ya, kisah Datu Museng dan Maipa Deapati itu. Aku masih ingat ekspresimu ketika aku mengisahkannya, tetapi yang paling kuingat adalah kebahagiaan dan kesedihan kita.

Kilau matahari sudah menghilang dari jendela kamar. Pesanmu tiba di gawaiku. Yang kuat, katamu. Yang tangguh, katamu lagi. Ya, Perempuan Kesayanganku, aku akan sembuh. Sebab, aku ingin berenang-renang di telaga bening matamu.

Pemujarindu, 29 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun