/2/
"Aku menyukaimu karena kau berpendirian teguh dan berani mengambil risiko."
Begitu katamu di dangau di kebun adikku, enam tahun lalu di Jeneponto, pada satu pagi yang panas dan lengang.
"Kita akan melewati cinta yang terjalin 'dari jarak jauh'," katamu lagi, "jadi kamu harus lebih berani. Menikah denganku butuh keberanian dan aku yakin kamu memilikinya. Kamulah masa depanku, aku tahu itu, dan aku meyakininya."
Aku ingat, dulu aku berterima kasih karena kamu menerima keadaan keluargaku, mau mandi dengan air yang sedikit asin dan beraroma laut, bersedia makan dengan cara duduk bersila, suka berangin-angin di beranda rumah panggung kakakku, dan tetap mencintaiku dengan ketulusan yang penuh.
Pada hari ketika aku hanya bisa menatap langit-langit kamar, aku ingin melihat mata sendumu. Aku tidak mau mendengar kamu berkata apa-apa. Kata-katamu membuat tenggorokanku kering dan lidah dan leher dan dada dan perutku mendadak hangat. Terlebih, mataku.
Aku tidak mau mendengar kata apa pun darimu, karena aku ingin mendengar degup jantungku ketika merasa bahagia menatap matamu. Aku tidak ingin mendengar kalimat apa saja, karena aku senang menikmati kebahagiaan memancar dari matamu. Kurasa "anging mammiri" membisikkan pesan damai di telingaku.
Cinta tidak pernah berkenalan dengan putus asa, apalagi mengintiminya. Jangan cemas. Aku akan sembuh. Atas kuasa Tuhan, aku pasti sembuh.
/3/
Aku tidak ingat kapan persisnya aku sebahagia dan sesedih ini.
Mestinya orang yang sedang berbahagia terbebas dari perasaan dan pikiran yang menyusahkan dan menyedihkan, tetapi hatiku susah karena harus berpisah dengan suasana membahagiakan dan penuh kebahagiaan.
Jauh darimu memang melemahkan sendi tulang-tulangku. Jauh darimu membuat tubuhku tidak lebih dari seonggok tulang dan daging. Pukul lima sore. Dari jendela kamar, kemilau matahari membawa ingatanku mengembara.
Kembali ke Makassar, enam tahun lalu, tiga jam setelah kau menyaksikan air mata ibuku, kita bertukar air mata di Bandara Sultan Hasanuddin. Kita tunggu pesawat yang akan membawamu ke Jakarta, yang akan memisahkan kita, yang akan menjauhkan kita.
Lalu, kuceritakan kepadamu kisah sepasang kekasih yang cinta-mencintai hingga mati, yang memilih mati daripada dipisahkan atau terpisahkan, yang memilih kematian daripada hidup yang menyengsarakan.