Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tahukah Kamu, Kuasa Intuisi bagi Penulis?

28 Januari 2021   14:53 Diperbarui: 28 Januari 2021   15:10 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Biarkan semua mengalir. Terus mengalir. Terus, terus. (Ilustrasi: thebalancecareers.com)

SETIAP manusia punya harta karun di dalam batinnya, termasuk penulis. Ada orang yang mampu menemukan dan memanfaatkan harta karun itu, ada yang tidak. Penulis yang mampu menggali, melihat, menemukan, dan memanfaatkan harta karun itu dapat dengan mudah menampilkan "pemandangan batin" ke dalam tulisannya. Harta karun itu bernama intuisi.

Pada tulisan sebelumnya, Tiga Rahasia Cespleng Menggali Intuisi, saya sudah mengudar soal bagaimana cara kita agar dapat menggali intuisi--harta karun yang terpendam di dalam batin. Sekarang saya ingin berbagi cerita tentang bagaimana menampakkan semua yang ada di dalam batin kita. Saya menyebutnya "pemandangan batin".

Sejatinya, ini bukan perkara yang sulit. Kita hanya diminta tekun dan bersungguh-sungguh. Tekun berarti merelakan waktu untuk serius melatih dan mempermahir diri menulis, sedangkan bersungguh-sungguh berarti tidak setengah-setengah saat melatih dan mempermahir diri menulis.

Dua modalitas itu pasti kita miliki, persoalannya kita mau atau tidak. Itu saja. Kalau mau, silakan rampungkan artikel ini. Jika tidak, berhentilah pada paragraf ini.

***

PEMANDANGAN batin dalam diri setiap manusia sangatlah nyata dan berharga. Itu sebabnya saya sebut sebagai harta karun. Dalam menuangkan gagasan, penulis yang cakap punya kemampuan intuitif untuk mengungkapkan dan menggambarkan pemandangan batinnya lewat kata-kata.

Hal pertama yang mesti kita lakukan adalah mengubah paradigma menulis dari beban menjadi hobi. Beban menulis di Kompasiana, misalnya, mendapat label "pilihan", terpilih menjadi "artikel utama", berharap tulisan terbaca oleh khalayak luas, dan menangguk banyak pembaca. Itu beban.

Itu contoh belaka. Saya mengambil perumpaan tulisan di Kompasiana (dan Kompasianer selaku penulis), sebab artikel ini tayang di sebuah apartemen intelektualitas bernama Kompasiana. Itu saja. Tidak lebih, tidak kurang.

Sebelum, selama, dan setelah Anda menulis, buang jauh-jauh beban itu. Tarik napas, embuskan, dan biarkan rasa lega mengaliri dan memenuhi dada. Buang beban menulis itu dan ganti dengan hobi. Tanamkan di dalam hati Anda dua kalimat berikut.

Saya menulis karena ingin membahagiakan diri, bukan memburu label pilihan. Saya menulis karena ingin berbagi kepada sesama, bukan karena ingin tulisan saya menembus artikel utama.

Beban akan membuat pundak Anda berat, otak Anda penat, dan perasaan Anda seperti porter di pelabuhan yang memanggul beban di punggungnya. Dampaknya, Anda sulit berimprovisasi, mengumbar kreativitas, dan memainkan imajinasi. Akan berbeda jika Anda memandang tulis-menulis sebagai taman tempat hati bermain-main sepuasnya.

Sekarang, tanyakan ke dalam diri Anda. Apa beban yang memberati benak Anda setiap akan dan selama menulis? Catat di kepala, masukkan ke folder "tidak berguna" di bilik ingatan Anda, dan alam bawah sadar Anda akan menyimpannya sebagai "sampah".

***

PEMANDANGAN batin kita terdiri atas interior berupa apa yang kita suka atau tidak suka, apa yang kita ingin atau tidak ingin dimiliki, apa yang kita mau atau tidak mau dilakukan, serta apa yang kita anggap atau tidak anggap ideal.

Selain itu, pembandangan batin kita dihiasi eksterior berupa apa yang tidak kita sukai atau sukai dari perlakuan orang lain, apa yang tidak atau kita inginkan orang lain lakukan, serta apa yang tidak atau kita harapkan orang lain perbuat.

Jika daya intuitif kita sudah mampu menyingkap tabir yang menghalangi pemandangan batin itu, kita dapat dengan mudah menuangkan, menumpahkan, atau mencurahkan gagasan. Tentu saja, benak kita sebelumnya sudah menjadi "gudang data" yang terisi sesak karena rajin kita isi lewat membaca apa saja.

Maka dari itu, sebaiknya kita kenali dulu posisi ingatan dan intuisi. Kita bisa berandai-andai bahwa intuisi berada dan bergerak di hati, sedangkan ingatan berada dan berdiam di kepala. Ingatan di kepala kita tidak berguna apa-apa selama intuisi kita tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Jadi, inilah hal kedua yang perlu kita lakukan. Kenali kuasa intuisi. Anda bisa bermimpi suatu saat sanggup menulis satu artikel sebanyak 900 kata hanya dalam rentang setengah jam, dilakukan dalam sekali duduk, dan hasilnya tetap lezat dan bergizi. Lezat memanjakan mata, gizi mengayakan wawasan.

Sekarang bayangkan sebuah pohon raksasa. Pohon itu kita namai "Pohon Intuisi". Tiga dahan besar terpacak kokoh ke tangkal pohon itu. Tiap-tiap dahan kita namai (1) persepsi, (2) fokus, dan (3) perasaan. 

Bagaimana? Sudah bisa membayangkan pohon raksasa dengan dahan besar itu? Kalau belum, baca ulang alinea di atas dan bayangkan kembali. Mengulang sesuatu yang sedang Anda pelajari bukan berarti Anda bodoh, melainkan karena Anda ingin memperkokoh fondasi ingatan.

Selanjutnya, mari kita sibak daun-daun yang menutupi dahan-dahan besar itu. Suara kersik daun menggelitik kuping Anda, rasakan. Lalu, lihat dahan persepsi dan amati baik-baik. 

Dahan persepsi terdiri atas hubungan, pola, simbol, sifat, dan makna. Segala hal dan peristiwa selalu memiliki hubungan, pola, simbol, sifat, dan makna. Intuisi kita bisa menyingkapnya jikalau kita terlatih melakukannya.

Berikutnya, lihat dan amati dahan fokus. Pada dahan itulah tercuat dua hal, yakni pengalaman dan pengetahuan. Pada cabang pengalaman terdapat ranting pengalaman orang lain dan diri sendiri. Pada cabang pengetahuan terdapat ranting pengetahuan formal dan nonformal. Intuisi akan menuntun kita untuk menggunakan dua cabang itu selama kita mampu berkonsentrasi.

Kemudian, tatap dan perhatikan dahan perasaan. Pada dahan perasaan terdapat cabang suara, gambar, dan bayangan. Cabang suara merupakan apa saja yang pernah Anda dengar, termasuk bisikan nurani. 

Cabang gambar merupakan bilik tempat hati kita menyimpan apa saja yang telah kita lihat. Adapun cabang bayangan merupakan kamar tempat hati kita membunyikan harapan. Terus terang saja, menulis intuitif banyak bermain di area ini.

Setelah kita kenali kuasa intuisi, kita tinggal melatih kecakapan diri untuk menggunakan kuasa itu ketika menulis. Tidak perlu berharap hasil yang instan. Menulis intuitif bukan memasak mi instan yang bisa Anda lakukan dengan mudah dan lancar.

***

DUA langkah di atas bukan sesuatu yang sukar dipraktikkan. Kuncinya cuma satu, pembiasaan. Itu saja. Tidak banyak, tidak ruwet. Bayangkan gagasan yang ingin Anda tulis. Pikirkan satu atau dua kata sebagai fokus bayangan itu. Lalu, suruh intuisi Anda menggali kata itu.

Ambil contoh, sakit hati. Biarkan pohon intuisi tumbuh di dalam kepala. Perhatikan bagaimana pohon itu menumbuhkan dahan persepsi. 

Lihat apa hubungan antara sakit hati dan Anda, simak pola kapan dan bagaimana Anda sakit hati, tatap simbol yang terjadi (seperti menggeram atau menangis), amati sifat sakit hati, dan cermati makna yang bisa Anda temukan dari sakit hati.

Kemudian, perhatikan bagaimana intuisi menumbuhkan cabang pengalaman dan pengetahuan. Pandangi pengalaman orang lain yang pernah Anda lihat, resapi pengalaman sakit hati yang pernah mencecar batin Anda. Telusuri pengetahuan Anda tentang sakit hati, entah dari sudut psikologi, ideologi, sosiologi, maupun antropologi.

Terakhir, saksikan bagaimana intuisi menambahkan cabang perasaan. Dengarkan suara-suara orang yang sakit hati karena tergusur, karena terpojok, karena terpinggirkan, karena amarah. Lihat tayangan gambar orang-orang yang kehilangan rumah, pekerjaan, dan masa depan. Lalu, bayangkan apa yang kamu harapkan dari sakit hati.

***

APA PUN yang Anda tulis, Anda butuh intuisi. Bagaimanapun cara Anda menulis, Anda perlu intuisi. Lewat intuisi, gagasan Anda bisa mengalir begitu saja. Sekali Anda mampu menggunakan kuasa intuisi saat menulis, setelah itu Anda tidak akan mengabaikannya.

Begitu Anda mahir mendayagunakan kuasa intuisi, Anda akan tercengang sendiri. Sebagian orang berseru, "Wah, hebat, ternyata saya mampu menulis seperti ini!" Ada juga yang tercengang-cengang karena tidak percaya dan berteriak, "Seakan-akan bukan saya menulis!"

Salam takzim, Khrisna Pabichara    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun