Ambil contoh, sakit hati. Biarkan pohon intuisi tumbuh di dalam kepala. Perhatikan bagaimana pohon itu menumbuhkan dahan persepsi.Â
Lihat apa hubungan antara sakit hati dan Anda, simak pola kapan dan bagaimana Anda sakit hati, tatap simbol yang terjadi (seperti menggeram atau menangis), amati sifat sakit hati, dan cermati makna yang bisa Anda temukan dari sakit hati.
Kemudian, perhatikan bagaimana intuisi menumbuhkan cabang pengalaman dan pengetahuan. Pandangi pengalaman orang lain yang pernah Anda lihat, resapi pengalaman sakit hati yang pernah mencecar batin Anda. Telusuri pengetahuan Anda tentang sakit hati, entah dari sudut psikologi, ideologi, sosiologi, maupun antropologi.
Terakhir, saksikan bagaimana intuisi menambahkan cabang perasaan. Dengarkan suara-suara orang yang sakit hati karena tergusur, karena terpojok, karena terpinggirkan, karena amarah. Lihat tayangan gambar orang-orang yang kehilangan rumah, pekerjaan, dan masa depan. Lalu, bayangkan apa yang kamu harapkan dari sakit hati.
***
APA PUN yang Anda tulis, Anda butuh intuisi. Bagaimanapun cara Anda menulis, Anda perlu intuisi. Lewat intuisi, gagasan Anda bisa mengalir begitu saja. Sekali Anda mampu menggunakan kuasa intuisi saat menulis, setelah itu Anda tidak akan mengabaikannya.
Begitu Anda mahir mendayagunakan kuasa intuisi, Anda akan tercengang sendiri. Sebagian orang berseru, "Wah, hebat, ternyata saya mampu menulis seperti ini!" Ada juga yang tercengang-cengang karena tidak percaya dan berteriak, "Seakan-akan bukan saya menulis!"
Salam takzim, Khrisna Pabichara  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H