NAGA-NAGANYA, Tri Rismaharini alias Risma bakal diplot oleh PDI Perjuangan untuk kembali merebut kursi Gubernur DKI Jakarta. Jika ingin bertahan, Anies butuh gebrakan yang lebih dari sekadar memburu sensasi, jauh dari program pemanjaan pandangan mata, dan dekat dengan pendukung fanatik.
Jika tidak begitu, Anies bisa kehilangan kursi. Kita dapat melihat gebrakan Risma begitu “mendarat” di Jakarta. Perantau asal Surabaya itu langsung menarik perhatian khalayak. Mula-mula blusukan, lalu menyapa gelandangan dan pengemis, lantas menggotong kayu di daerah terkena musibah, terus ikut memasak bagi para pengungsi, hingga akhirnya menemukan pekerjaan untuk pemulung.
Selaku tuan rumah, Anies harus gesit mencari poin pemicu popularitas. Tidak bisa dimungkiri, noda elektabilitas kadang kala tercipta dari gebrakan yang justru kontraproduktif. Pencitraan, kata yang selalu menjadi amunisi andalan pendukung Anies, sebaiknya tidak didekati atau dijabani. Mau tidak mau, beliau perlu membangun pola komunikasi publik yang mumpuni.
Masalahnya, Anis akan kelimpungan jika tergusur dari kursi gubernur. Anis harus menang di Pilgub DKI pada 2022. Kalau tidak, proyek impian Pilpres 2024 bisa-bisa melayang. Ia tidak boleh menuju 2024 dalam keadaan menganggur. Popularitas bakalan merosot. Tajam. Drastis.
Kecuali Anis punya keahlian menarik perhatian publik sekalipun menjadi penganggur. Rasa-rasanya itu tidak mustahil. Bagaimanapun, Anis sudah pernah menganggur tatkala dijauhkan dari komposisi kabinet Jokowi. Namun, bertahan di kursi gubernur akan lebih memudahkan Anis untuk melenggang ke kancah pilpres.
***
BARU-BARU ini, Anies bikin gebrakan dengan aksi mempercantik atap rumah-rumah di kisaran jalan layang Tapal Kuda, Lenteng Agung. Atap rumah-rumah warga dicat warna-warni. Syahdan, pemandangan elok tersaji apabila warga melintas di jalan layang.
Kolong jembatan di Pasar Senen pun dipercantik. Masih dengan cat warna-warni. Beton yang dingin dan kaku sekarang berasa unik dan berbeda. Bermandi warna. Sebagaimana biasa, Anies selalu bangga dengan hasil kerjanya. Ia pun mejeng cantik dan berfoto riang di kolong jembatan.
Menurut hemat saya, Anies tidak sedang pamer keindahan belaka. Ia bukan pemuja benda yang cantik artifisial, sebab ia pernah meledek kerjaan Ahok. Kata Anies sewaktu debat pilgub, "Sebaiknya pembangunan tidak dikonsentrasikan pada benda mati agar indah difoto." Itu jelas mempertegas visi pembangunan Anies yang tidak beroperasi di ranah indah secara artifisial.
Ajaibnya, sekarang Anies justru bermain-main di wilayah artifisial. Bagaimanapun, atap rumah dan kolong jembatan warna-warni termasuk mengubah benda mati yang tidak elok dilihat menjadi indah dipandang mata. Peragawan pun kalah pose dibanding Anies.
Mengapa Anies berfoto di kolong jembatan layang? Maaf, itu pertanyaan tidak bermutu. Jawaban tepat dapat dengan mudah kita temukan. Anies berfoto di kolong jembatan warna-warni karena ia mustahil nangkring di atap rumah warga dan minta dijepret dengan pose aduhai.
O, tidak begitu. Kita semua tahu, tidak sedikit orang menganggap kolong jembatan sebagai tempat yang kumuh. Anies menunjukkan bahwa Jakarta memang berbeda. Kini kolong jembatan sudah indah bagai taman penuh bunga berwarna-warni.
Dengan begitu, beliau sedang menampilkan citra indah kawasan kumuh di Jakarta. Itu juga upaya keras untuk menangkal gebrakan Risma yang menemukan gepeng di jantung Jakarta. Seolah-olah Anies berkata kepada para penyinyirnya, “Foto bareng, yuk?!”
Apakah proyek pewarnaan atap dan kolong jembatan layang berakhir indah bagi Anies? Rasa-rasanya tidak. Bukan tidak, melainkan belum. Pendukung Anies tampak kurang bergairah, sementara penentangnya malah ekspresif. Beberapa “pejuang caper” di media sosial bersukacita menyambut tongkrongan Anies di dalam foto.
Ada netizen yang membandingkan Anies dengan Rano Karno, mantan Gubernur Banten, yang tidak sekenes itu saat difoto. Ada juga pengheboh medsos yang memilih sosok pahlawan jago terbang untuk melihat keindahan atap rumah di Lenteng Agung. Bukan cuma itu. Ada juga warganet yang membandingkan beliau dengan barisan balita yang memenangi lomba mewarnai gambar.
Tiga tanggapan receh itu seyogianya tidak diremehkan oleh Anies. Panu bermula dari bercak setitik, lama-lama melebar, akhirnya tangan gatal jika tidak main garuk. Pengalaman instalasi Bambu Getah-getih dan Instalasi Galon mesti dijadikan cermin refleksi. Anggaran ratusan juta, dalam beberapa saat sudah kehilangan nyawa.
Tentu saja Anies tidak perlu meladeni komentar miring warganet. Biarkan tim sorak yang mencatat, menilai, dan menganalisis simpati dan antipati warga. Biarkan Anies terus bekerja. Jika Risma benar-benar disorong oleh PDI Perjuangan ke gelanggang tarung, ia bakal punya lawan yang setanding dan sebanding.
Suka tidak suka, Anies dan tim soraknya mesti memeras otak untuk terus mengatrol atau mendongkrak elektabilitas.
***
BAKAL rival Anies pasti banyak. DKI Jakarta masih “gula” bagi “semut”. DKI Jakarta masih pusat semua publikasi. Banyak sosok muda dari daerah yang mungkin merantau ke Jakarta, mengadu nasib sebagai calon gubernur, dan bisa saja sewaktu-waktu menyingkirkan Anies dari kontestasi.
Risma hanya salah satu dari perantau itu. Itu saja sudah merepotkan Anies. Dengan tabiat yang tidak betah berlama-lama di sofa empuk, Risma berpotensi bikin Anies keteteran. Salah-salah kelimpungan karena kedodoran.
Anies mesti lebih sering turun ke jalan. Tidak perlu ke tengah jalan, nanti ditabrak mobil. Cukup di sisi jalan dan menyapa warga. Sesekali bertanya, “Apakah fotoku di kolong jembatan sudah keren?”
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H