Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Akibat Meremehkan Bahasa Indonesia, Perdagangan Manusia Kian Marak

21 Januari 2021   13:31 Diperbarui: 21 Januari 2021   13:39 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wah, ternyata saya salah kaprah dalam berbahasa Indonesia! (Ilustrasi: neilpatel.com)

Banyak orang Indonesia yang merasa tahu bahasa Indonesia, padahal belum. Banyak orang Indonesia yang merasa sudah pintar berbahasa Indonesia, padahal belum. Banyak orang Indonesia yang merasa terampil berbahasa Indonesia, padahal belum. Sedih? Ya, sangat sedih.

Beberapa hari lalu, Kamis (7/1/2021), Presiden Jokowi meneken Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi. Peraturan tersebut jelas-jelas sudah membolehkan penamaan rupabumi dengan menggunakan bahasa asing.

Pulau dan sungai nanti bisa memakai bahasa asing. Bisa bahasa Inggris, boleh bahasa Igbo. Bisa bahasa Spanyol, boleh bahasa Sinhala. Artinya, peraturan tersebut mengizinkan bahasa asing apa saja digunakan untuk menamai pulau, sungai, atau gunung. Pokoknya rupabumi. Jadi, Sahabat, boleh jadi nanti akan kita temukan Shallow Lake di Sulawesi.

Terserah, deh!

Namun, bukan perkara penamaan rupabumi yang hendak saya udar di sini. Nanti akan saya kupas sendiri jika badan sudah bugar, soalnya pasti memakan waktu untuk riset data dan melahap stamina otak saat berpikir.

Kali ini saya ingin mengulas peremehan bahasa Indonesia yang ringan-ringan saja. Perkara receh yang bisa Anda temukan saat berkendara atau berjalan-jalan. Tinggal menoleh ke samping. Melihat ke pagar, pohon, atau tembok rumah. Spanduk yang mengabaikan kaidah kebahasaan marak bertebaran.

Mari kita mulai, Kawan. Pertama-tama, kita akan membahas tentang rumah sakti yang sanggup mengambil pekerjaan manusia. Pendek kata, rumah yang hebat. Di mana-mana kita bisa melihat spanduk bertuliskan "Dijual Rumah", bahkan ada juga ruko yang bisa menjual sesuatu sampai-sampai terentang spanduk "Dijual Ruko".

Bahkan kita bisa menegosiasi harga kepada rumah ini (Sumber: Twitter)
Bahkan kita bisa menegosiasi harga kepada rumah ini (Sumber: Twitter)

Sekilas tidak keliru, karena berarti 'ada rumah yang dijual'. Padahal, tidak begitu. Apabila kita mau bersikukuh pada kaidah "diterangkan-menerangkan", jelas sekali bahwa kata "dijual" diterangkan oleh kata "rumah". Maknanya menjadi 'yang menjual sesuatu adalah rumah'.

Bagaimana perbaikannya? Sederhana. Kembalikan pada hukum "diterangkan-menerangkan". Ubah posisi kata menjadi: Rumah Dijual. Receh banget, tetapi perkara demikian kerap kita lihat, dapati, dan saksikan di mana-mana di antero Indonesia.

Sambil rebahan sepanjang pagi karena kondisi fisik yang kembali memburuk, saya tersentak sekaligus tergelitik membaca laman Facebook Saut Situmorang. Pembaca puisi bersuara khas itu menjuduli statusnya dengan "perdagangan manusia".

Benak saya kontan memajang sosok sahabat yang lain, Maman Suherman. Pada suatu hari, Kang Maman memasang foto di akun twitternya. Foto itu memajang sebuah spanduk bertuliskan "Dijual Maman". Sekilas tidak ada yang keliru. Itu bisa dimaknai "Maman menjual sesuatu", ya, sekalipun itu bukan Maman Suherman.

Ketika Maman dijual (Sumber: Twitter/@maman1965)
Ketika Maman dijual (Sumber: Twitter/@maman1965)
Perhatikan latar warna pada gambar di atas. Kata "Dijual" berwarna merah, sedangkan "Maman" berwarna putih. Jika sama-sama merah atau putih, berarti 'Maman yang menawarkan sesuatu'. Ternyata tidak. Berbeda warna latar. Maknanya pun bergeser. Jauh sekali.

Lantaran ada sekat ruang dengan penanda berupa warna, maknanya bisa menjadi "Maman yang dijual". Wah, itu sudah sangat parah. Sudah dapat kita anggap sebagai perdagangan manusia seperti kata Bung Saut.

Apakah orang yang membuat spanduk sudah bertanya kepada Maman atau belum? Benarkah Maman mau dijual? Apa yang dibutuhkan oleh pembeli sehingga Maman ditawarkan sedemikian rupa? Luar binasa memang!

Sebermula Maman menawarkan sesuatu, akhirnya dia menjadi korban perdagangan manusia alias human trafficking. Nasib miris ternyata bukan hanya dialami oleh Maman. Banyak korban lain di mana-mana. Simak gambar unggahan Bung Saut di bawah ini.

Begitu banyak orang yang dijual (Sumber: Facebook/Saut Situmorang)
Begitu banyak orang yang dijual (Sumber: Facebook/Saut Situmorang)

Lihatlah bagaimana Angga, Julie, Johan, dan Toni dijual. Kasihan keluarga mereka karena tengah mendapat ancaman kehilangan kerabat. Perhatikan lagi penulisan pada spanduk yang menjual Julie. Sudahlah meniagakan orang, menulis "di jual" pula dalam ukuran besar.

Bagaimana perbaikannya? Sebutkan apa yang dijual dan siapa narahubung yang bisa dihubungi. Kelar perkara. Contoh: Rumah dijual. Hubungi Maman: 08xx-xxxx-xxxx. Itu kalau rumah yang dijual. Bagaimana kalau yang lain? Tinggal ubah, Bray.

Lihat pula gambar di bawah ini.

Rumah yang melakukan penentangan (Sumber: Twitter:@ivanlanin)
Rumah yang melakukan penentangan (Sumber: Twitter:@ivanlanin)

Pada bagian kiri bawah terjadi kesalahan penulisan. Di kontrakan. Dengan demikian, rumah tersebut tidak untuk dikontrakkan, tetapi tempatnya berada di kontrakan. Camkan, Sobat, jika /di/ dipisah maka maknanya merujuk tempat. Bukan perbuatan.

Pada bagian kanan bawah juga keliru tulis. Dikontrakan. Kata dasarnya kontra, artinya 'berada dalam keadaan tidak setuju (kata sifat)' atau 'menentang (kata kerja)'. Pembubuhan imbuhan /di-kan/ membuat makna dikontrakan menjadi 'dibuat menjadi bertentangan atau saling menentang'.

Bagaimana penulisan yang tepat? Lihat bagian atas. Dikontrakkan. Kata dasarnya kontrak, dibubuhi /di-kan/, maknanya 'disewakan rumah atau kamar dalam batas waktu tertentu'. 

Ada lagi yang menyulut rasa dongkol. 

Gedung tidak dijual, tetapi narahubung minta dihubungi (Sumber: Twitter)
Gedung tidak dijual, tetapi narahubung minta dihubungi (Sumber: Twitter)
Coba Anda bayangkan. Ada spanduk sedemikian besar dan terentang megah, tetapi gedung tempat spanduk itu terbentang ternyata tidak dijual. Apa maksudmu pasang spanduk iklan begitu, Pallubutung Encer? Kamu cari perhatian sehingga minta dihubungi? Eheh, saya jitak jidatmu, Oncom Beureum (bahasa Sunda: merah)!

Sungguh perkara remeh, tetapi membuktikan betapa selama ini kita terlalu meremehkan bahasa Indonesia. Saya ulang, ter-la-lu! Kalian boleh membacanya pakai nada. Mohon maaf, ini tidak ada hubungannya dengan Bung Haji Rhoma Irama.

Kasus-kasus di atas hanya seupil dari kesalahan berbahasa yang kita biarkan terjadi terus-menerus secara turun-temurun. Semacam kesalahan yang dibiarkan.

Bayangkan jika pembiaran sedemikian disahkan oleh negara. Bayangkan jika pengabaian bahasa Indonesia dilegalkan oleh negara. Bayangkan jika pulau-pulau di Nusantara tercinta nanti tidak menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah lagi.

Jika sudah demikian, maafkan kalau saya berang. Tahi kucinglah berkoar-koar tentang nasionalisme, tetapi bahasa Indonesia kalian injak-injak. Bukan hanya oleh penutur dan pengguna bahasa Indonesia, melainkan juga oleh Pemerintah. Perih, Jenderal!

Salam takzim, Khrisna Pabichara

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun