08.15 WIB
Selamat pagi, Diari. Apa kabar? Aku berharap kamu baik-baik saja, seperti aku dan dia. O ya, baik-baik saja yang kuharapkan janganlah kautuding sebagai positivitas beracun (toxic positivity). Semoga kamu baik-baik saja mesti kaulihat sebagai doa, Diari.
Hari ini kami tengah berjauhan, Diari. Dia sedang melaksanakan tugas negara yang terpacak di pundaknya. Tugas yang berat dan menyita banyak energi. Aku berharap, kamu sudi mendoakan agar ketangguhan dan kesungguhannya tidak habis-habis.
Pada saat kami berjauhan, kuasa saling langsung pamer taji. Ya, kami memang merawat kuasa saling. Seluruh sejoli di antero bumi mesti punya kuasa saling saat menjalin cinta, baik sebagai yang mencinta maupun yang dicinta.
Kuasa saling itu, Diari, merupakan perpaduan mesra antara memberi dan menerima. Juga, ajakan untuk bertanggung jawab pada sebuah hubungan. Alangkah menyenangkan apabila cinta kita rayakan dengan saling setia dan saling percaya yang tumbuh tulus dari kedalaman jiwa, tanpa meletakkan yang satu lebih rendah atau lebih tinggi daripada yang lain. Harus sejajar, harus setara.
Bangunan cinta barulah kokoh apabila saling setia dan saling percaya yang menjadi fondasinya.
Jika tidak, yang terpampang di hadapan kita hanyalah istana pasir, bangunan rapuh yang gampang dihapus gelombang. Mustahil kautemukan hakikat cinta, yang sering kausebut kebahagiaan, selama kau belum memahami syariatnya.
Dan, syariat cinta terletak pada saling setia dan saling percaya.
11.22 WIB
Hingga siang dia masih sibuk, Diari. Aku hanya bisa mengirim pesan “makan, ya” dan “jaga kondisimu, Sayang”. Hanya itu. Baik lewat tulisan maupun lisan, aku selalu terbata-bata saat menyatakan isi perasaan. Kata-kata di kepalaku seketika memberontak, seakan-akan enggan mewakili perasaanku.
Kadang-kadang ketika aku susah tidur, aku ingin mengatakan kepadanya. Kamu gara-garanya. Namun, kalimat itu hilang entah ke mana begitu aku berdiri di hadapannya, duduk di sisinya, atau dalam pelukannya. Lidahku beku, Diari.
Aku heran mengapa aku bisa selalu jatuh cinta kepadanya. Ajaib. Ketika aku tidak sanggup mengutarakan isi hati, seharusnya ia yang menatap mataku, menatap mataku dengan mata hatinya, lalu menyelam sedalam-dalamnya ke dasar sanubariku.
Lidahku memang tidak kuasa mengatakan apa pun tentang perasaan-perasaanku kepadanya, tetapi mataku sanggup mengatakan banyak hal. Seharusnya ia mampu membaca mataku, menyelami perasaanku, dan merasakan bagaimana selembar benang rindu yang tak kasatmata merentang dari mataku menuju matanya. Ah, sudahlah.