Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mungkinkah Ada FPI Perjuangan?

31 Desember 2020   08:46 Diperbarui: 31 Desember 2020   08:47 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Habib Rizieq dalam bidikan gawai (Foto: Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)

Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan. Tidak tanggung-tanggung, tiga menteri bersama Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) di Jakarta pada 30 Desember 2020.

Menjelang tahun baru, FPI harus tutup buku. Tamat sudah riwayat panjang yang telah ditempuh. Orang-orang yang bersimpati pada kiprah FPI tentu terbelalak mendengar amar pelarangan dan pembubaran itu. Adapun mereka yang menampik sepak terjang FPI tentu akan mengacungkan jempol.

Tunggu dulu. Ada juga pihak yang sekalipun tidak setuju atas gebrakan FPI, tetapi menganggap ada kemerdekaan warga negara yang dilanggar oleh Negara. Kemerdekaan itu adalah hak untuk berserikat, berpendapat, dan berorganisasi.

Silang pendapat di dalam negara yang memilih demokrasi sebagai fondasi berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tentu merupakan sesuatu yang wajar dan sah. Apalagi menyangkut isu yang cukup sensitif, seperti pembubaran FPI.

Sejak dideklarasikan pada 17 Agustus 1998, sepak terjang FPI memang intim dengan kontroversi. Penutupan kelab malam, penghancuran warung remang-remang, penangkapan warga negara tertentu, dan gebrakan lain yang cukup panjang untuk ditulis satu per satu.

Akan tetapi, FPI juga dikenal sebagai organisasi kemasyarakatan yang rajin menurunkan laskar atau anggotanya di daerah yang terkena musibah. Ambil contoh bencana tsunami di Aceh atau gempa di Padang. Bukan hanya mengirim anggota, FPI juga rajin mengumpulkan donasi bagi masyarakat yang terpapar bencana.

Tidak heran jika pro dan kontra selalu menyertai perjalanan FPI. Hal terbaru yang masih segar dalam ingatan kita adalah kepulangan dan penangkapan Habib Rizieq, penembakan 6 (enam) anggota FPI yang masih dalam proses investigasi, serta konflik lahan di Mega Mendung.

Kita kembali lagi pada SKB pembubaran dan pelarangan. Butir kesatu dalam SKB itu menegaskan bahwa FPI sudah tidak terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan. Namun, ada kejanggalan. Jika alasan pembubaran dan pelarangan Front Pembela Islam (FPI) karena sudah tidak mengantongi izin atau Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sudah kedaluwarsa, otomatis organisasi tersebut secara hukum bisa dianggap ilegal. 

Dengan sendirinya harus bubar secara hukum. Lantaran SKT sudah habis masa berlakunya, FPI dengan sendirinya tak dapat dianggap sebagai organisasi kemasyarakatan yang sah di mata hukum dan negara. Nah, ajaib apabila Pemerintah membubarkan ormas itu. Lebih ajaib lagi, kedaluwarsa tahun 2019, tetapi baru dibubarkan pada tahun ini.

Pada butir kedua SKB itu dicantumkan bahwa sekalipun secara de jure sudah bubar, tetapi FPI masih terus melakukan berbagai kegiatan yang mengganggu ketenteraman, ketertiban umum, dan bertentangan dengan hukum.

Patut kita ingat berdasarkan pernyataan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej, SKT FPI dari Mendagri hanya berlaku hingga 20 Juni 2019. Artinya, FPI mesti berupaya memperpanjang SKT tersebut apabila ingin disebut ormas absah di NKRI.

Nah, di sini titik runyamnya. Kenapa baru sekarang? Kenapa pelarangan berkegiatan itu tidak dimaklumatkan sejak SKT FPI enggan diperpanjang oleh Pemerintah? Ada kesan lamban di balik pelarangan ini. Kesan yang sama terlihat ketika menghadapi kepulangan Habib Rizieq di bandara yang melanggar protokol kesehatan.

Bagaimana dengan anggota FPI? Andaikan saya anggota FPI, apalagi pengurus, saya tidak akan panik. Tidak akan mengkal dan mencak-mencak juga. Setidaknya ada tiga langkah yang bisa saya lakukan sehingga FPI tetap eksis.

Pertama, sekalian bikin partai. Kalau pengurus dan anggota FPI yakin bahwa mereka punya militansi dan soliditas tidak tepermanai, sekalian saja bikin partai. Ikut pemilu. Pindahkan kiblat perjuangan ke Kubah Hijau Senayan. Tentu saja, ganti nama, logo, dan simbol.

Kedua, ubah nama ormas. Kalau memang FPI dilarang, bikin lagi ormas baru. Cukup ubah nama ormas baru itu. Sedikit modifikasi nama. Misalnya, FPI Perjuangan. Selain itu, hentikan "hukum main kayu" atau "main hakim sendiri". Jauhi juga kebiasaan nyeleneh seperti merazia warga lain yang juga punya hak hidup di negeri ini.

Ketiga, bikin ormas baru. Pengurus dan anggota FPI tidak perlu meradang sampai-sampai keluar tuduhan Pemerintah anti-Islam. Tidak begitu. Tenang saja. Lihatlah dari sudut pandang berbeda. Pemerintah hanya tengah menegakkan hukum dan aturan. Moga-moga penegakan hukum dan aturan itu tidak tebang pilih. Jadi, bikin ormas baru saja.

Kalau tiga perkara di atas dapat diterima oleh pengurus dan anggota FPI, perkara beres. Kita cuma perlu mengingat nasihat Gus Dur: Gitu aja kok repot!

 

Salam takzim, Khrisna Pabichara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun