Nah, di sini titik runyamnya. Kenapa baru sekarang? Kenapa pelarangan berkegiatan itu tidak dimaklumatkan sejak SKT FPI enggan diperpanjang oleh Pemerintah? Ada kesan lamban di balik pelarangan ini. Kesan yang sama terlihat ketika menghadapi kepulangan Habib Rizieq di bandara yang melanggar protokol kesehatan.
Bagaimana dengan anggota FPI? Andaikan saya anggota FPI, apalagi pengurus, saya tidak akan panik. Tidak akan mengkal dan mencak-mencak juga. Setidaknya ada tiga langkah yang bisa saya lakukan sehingga FPI tetap eksis.
Pertama, sekalian bikin partai. Kalau pengurus dan anggota FPI yakin bahwa mereka punya militansi dan soliditas tidak tepermanai, sekalian saja bikin partai. Ikut pemilu. Pindahkan kiblat perjuangan ke Kubah Hijau Senayan. Tentu saja, ganti nama, logo, dan simbol.
Kedua, ubah nama ormas. Kalau memang FPI dilarang, bikin lagi ormas baru. Cukup ubah nama ormas baru itu. Sedikit modifikasi nama. Misalnya, FPI Perjuangan. Selain itu, hentikan "hukum main kayu" atau "main hakim sendiri". Jauhi juga kebiasaan nyeleneh seperti merazia warga lain yang juga punya hak hidup di negeri ini.
Ketiga, bikin ormas baru. Pengurus dan anggota FPI tidak perlu meradang sampai-sampai keluar tuduhan Pemerintah anti-Islam. Tidak begitu. Tenang saja. Lihatlah dari sudut pandang berbeda. Pemerintah hanya tengah menegakkan hukum dan aturan. Moga-moga penegakan hukum dan aturan itu tidak tebang pilih. Jadi, bikin ormas baru saja.
Kalau tiga perkara di atas dapat diterima oleh pengurus dan anggota FPI, perkara beres. Kita cuma perlu mengingat nasihat Gus Dur: Gitu aja kok repot!
Â
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H