Ah, itu jenis pertanyaan yang serupa dengan mana yang duluan ada antara telur dan ayam. Klise. Basi. Dialog dan narasi setara dalam cerita. Dua-duanya bisa menguatkan sekaligus melemahkan. Dua-duanya bisa mengukuhkan sekaligus merubuhkan. Jadi, dua-duanya harus permahir agar hanya menguatkan dan mengukuhkan kisah.
Apakah selama ini Anda mendalami teknik menata dialog dan narasi sebelum menulis cerita? Kalau jawabannya ya, syukurlah. Kalau jawabannya tidak, kita juga masih bisa bersyukur. Kenapa? Belajar tidak memandang waktu, tempat, jenis kelamin, usia, dan pendidikan. Apalagi memandang suku dan agama. Tidak. Kita semua bebas belajar.
Pertanyaan berikutnya. Apakah selama ini saya mengindahkan pola menata dialog dan narasi? Kalau jawabannya ya, syukurlah. Kalau tidak, kita harus tetap bersyukur. Kenapa? Kita masih punya waktu untuk membenahi diri. Menyesal boleh, tetapi berlarut-larut dalam penyesalan dapat melemahkan semangat.
Nah, silakan todongkan dua pertanyaan ke jidat kalian. Selanjutnya, tilik infografis di bawah ini.
Di mana kita bisa berguru? Mudah sekali. Membaca cerpen atau novel bermutu adalah tempat ideal bagi kita untuk mengeruk ilmu. Masalahnya, mau atau tidak. Selain itu, telaten atau tidak. Mari kita urai. Perhatikan contoh berikut.
Nayanika gemetar saat wajah Segara yang penuh codet dan jerawat batu perlahan memerah dan mengeras. Butiran keringat mulai terasa membasahi ketiaknya. Bibirnya bergerak-gerak tidak menentu. "Aku pikir kamu enggak akan tahu," katanya tergagap-gagap. Mata Segara yang tiba-tiba membelalak makin menciutkan nyalinya. "Maafkan aku!"
Tilik paragraf di atas. Pada kata kedua, gemetar, efek dramaturgi sudah terlihat. Baru dua kata, pembaca sudah digiring dan digaet ke dalam konflik. Baru dua kata, pembaca sudah disuguhi rasa tegang. Itulah kuasa kata yang mesti kita gali, mesti kita latih, mesti kita biasakan.
Efek dramaturgi, bangunan konflik, dan ketegangan dapat pula kita munculkan lewat deskripsi bahaya dalam paduan narasi dan dialog seperti contoh berikut.
Nayanika menahan napas. Bogem Segara menerjang sangat cepat sampai-sampai ia mengira tidak akan sempat mengelak. Ia malah merasa tidak akan bangun lagi hanya dengan sekali tonjok. Namun, ia mati-matian mengelak. "Kamu mau bunuh aku?"
Sekarang sudah saatnya kita memasukkan konflik ke dalam dialog yang disertai narasi. Perhatikan contoh berikut.
"Setiap kali aku melihatmu, sakit kepalaku kambuh!" Segara memegang kepala, mendongak dalam sekali sentak, lalu berteriak. "Aku membencimu!" Ia menggereng, lalu berkata lirih. "Begitu melihat kamu, aku ingin melumat batu!"
Perhatikan kata-kata yang digunakan. Perhatikan kata-kata yang mewakili pancaindra. Pengarang yang cerdas niscaya pintar memainkan rasa, bau, penglihatan, pendengaran, dan sentuhan. Mainkan narasi dan dialog dengan baik sehingga konflik dan ketegangan berasa. Buat pembaca seperti melihat, mendengar, atau merasakan sendiri peristiwa yang tengah terjadi.