Lantas, siapa yang menuai uang paling banyak dari sebuah novel yang terjual di toko buku? Oh, bukan penerbit. Kadang-kadang penerbit hanya menerima 40 s.d. 50% dari harga jual. Kalaupun beruntung jualan daring, barulah menerima pemasukan sebesar 60% dari harga jual.
Sebut saja keuntungan penerbit sebesar 40% dari harga jual. Aih, 10% persen dari pendapatan itu sudah pasti jatah penulis. Jadilah penerbit hanya mengepul 30%. Dari pendapatan 30% itu mesti keluar untuk membayar bea cetak, menyewa kantor, menggaji karyawan, mengupah editor, dan biaya lain yang bikin bengek.
O ya, kita kembali pada pendapatan penulis. Apakah royalti sebesar 10% sudah sepenuhnya milik penulis? Belum, Kawan. Masih ada potongan pajak. Besarannya variatif. Makin besar nilai royalti makin besar pula nilai pajak yang mesti dibayar.
Celakanya, penulis tidak tercantum sebagai salah satu profesi yang diakui di negeri tercinta ini. Sewaktu saya ingin memperpanjang KTP tahun 2014 lalu, saya ogah-ogahan mengisi jenis pekerjaan. Bukan apa-apa, tidak ada profesi penulis dalam formulir kependudukan.
Saat itu saya diminta memilih "wartawan". Lo, saya bukan jurnalis. Lantaran ngotot menolak disebut wartawan, saya pun diminta memilih profesi peneliti. Aduh, makin jauh pucuk dari akar. Terpaksa saya pilih seniman. Kebetulan saya menganggap menulis itu seni merangkai kata.
Apakah teman saya berhenti menulis? Tidak. Sampai sekarang ia masih menulis. Pekerjaan pokok yang ia lakoni tetap penulis. Hanya saja, hidupnya kembang-kempis. Kadang mengembang kalau royalti lancar, kadang mengempis jika royalti seret. Namun, lebih sering seret daripada lancar.
Bolehlah kalian bercita-cita menjadi penulis, asalkan itu pekerjaan sambilan. Pekerjaan pokok, ya, jangan penulis. Bisa dokter, guru, tentara, atau polisi. Itu jauh lebih menjanjikan. Dapat gaji bulanan, tiap enam bulan menerima royalti.
Kalaupun Anda benar-benar bersikukuh tetap menjadi penulis, carilah pasangan yang punya gaji atau pendapatan rutin bulanan. Sekalipun royalti Anda kurang mencukupi, setidaknya keluarga Anda bisa bertahan hidup dari gaji atau pendapatan bulanan.
Itu saran saya. O ya, saran ini seturut dengan pendapat teman saya, Puthut EA, yang beliau nukilkan di laman Facebook-nya. Beliau memang penulis purnawaktu, kendatipun bukan teman penulis yang saya contohkan di atas.
Maka dari itu, Kawan, jauhkanlah angan-angan menjadi penulis dari kepala Anda. Kecuali penulis bukan pekerjaan pokok Anda. Sah-sah saja kita berpendapat bahwa menulis itu pekerjaan mulia. Ya, itu benar.
Hanya saja, pahala dan semacamnya tidak bisa dijadikan alat tukar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung sebelah. Tidak percaya? Silakan ke toko di depan rumah, minta sekarung beras, lalu bayar dengan sebait puisi. Kalau tidak diomeli, boleh jadi ditimpuk!
Salam takzim, Khrisna Pabichara