Saya kerap menggeleng-geleng acapkali mendengar kabar ada teman yang bercita-cita menjadi penulis. Benar-benar penulis. Murni hanya menulis. Artinya, pekerjaan yang ingin digeluti hanya menulis. Tidak ada yang lain.
Mengapa saya menggeleng-geleng? Tentu saja saya punya argumentasi sehingga saya nelangsa tiap ada seseorang yang mati-matian ingin menjadi penulis. Itu bodoh. Bahkan, gila. Orang yang hanya ingin menulis sepanjang hayat bakal menderita hingga ke liang lahat. Percayalah!
Lo, saya tidak sedang menakut-nakuti. Saya berbicara apa adanya. Tidak percaya? Mari kita sibak tabir takdir para penulis di Indonesia. Upaya itu perlu kita lakukan supaya cakrawala berpikir kita lebih terbuka.
Menjadi penulis di Indonesia bukanlah sesuatu yang menjanjikan. Itu kalau kita ingin meraup uang atau pendapatan hanya dengan menulis. Sia-sia. Bakal setiap hari mendengar lagu keroncong mengalun dari perut. Bakal intim dengan rasa lapar. Bakal akrab dengan duka nestapa.
Bayangkan seandainya kalian menulis sebuah novel, lalu berharap novel itu laris manis sampai meraup royalti miliaran. Berandai-andai boleh, berangan-angan juga sah, asalkan jangan berlebihan. Khawatir dampaknya kalau tidak kesampaian. Bisa-bisa depresi, salah-salah gila.
Ada teman saya yang menganggit novelnya selama sebelas tahun. Saudara-saudara, sebelas tahun. Itu bukan waktu yang singkat. Saat selesai dicetak dan dilepas ke pasar dengan harga puluhan ribu, selama enam bulan cuma terjual 500 eksemplar. Itu pun 75 buah dijual sendiri.
Sebut saja harga novelnya Rp100.000,00. Jika laku sebanyak 500 eksemplar maka penjualannya sebanyak Rp50.000.000,00. Wuih, lima puluh juta rupiah. Lumayan. Bukan angka yang sedikit. Sangat menggiurkan. Tunggu dulu, Kawan, bukan sebegitu penghasilan teman saya.
Royalti teman saya hanya 10% dari harga jual. Cuma Rp10.000,00 per buku. Dengan demikian, kawan saya itu cuma menerima uang sebanyak Rp5.000.000,00. Apakah pendapatan lima juta rupiah per enam bulan mencukupi? Boro-boro hidup megah, membeli mi instan saja keteteran.
Benarkah demikian? Ya. Memang demikianlah adanya. Silakan bagi lima juta itu dengan enam bulan. Hasilnya, menyesakkan dada. Bikin sakit hati. Rp5.000.000,00 : 6 bulan = Rp300.000,00 per bulan. Perih, kan? Aih, itu hitungan asal-asalan. Mestinya Rp833.000 per bulan. Bayangkan jika digabung dengan proses mengarang selama 11 tahun.
Bukan salah hitung saya di atas inti pesannya, bukan. Intinya adalah alangkah perih nasib menjadi penulis. Sangat perih. Teramat sangat perih. Apakah yang dapat diandalkan dari penghasilan Rp27.000,00 per hari? Tidak ada. Jangankan untuk biaya hidup satu keluarga, memenuhi kebutuhan penulis sendiri saja sudah kedodoran.
Kalau pendapatan itu hanya digunakan untuk memberi makan anak sendiri, bisalah sembari menulikan kuping mendengar keluhan anak-anak. Namanya juga anak sendiri, kita bisa sibuk berkilah. Bagaimana kondisinya jika kalian harus cari makan untuk anak orang? Nahas!
Jika Anda laki-laki yang sudah beristri, tentu menulis tidak bisa menghidupi istri. Ingat, istri Anda adalah anak orang. Bukan anak Anda. Ingat pula, istri Anda puluhan tahun diasuh dan dirawat, kadang dimanja, oleh orangtuanya, setelah dewasa dan menjadi istri Anda lantas dijerumuskan ke dalam lubang kesengsaraan. Terlalu!
Jika Anda laki-laki yang belum beristri, jangan pamerkan profesi penulis di hadapan calon mertua. Hasilnya bisa menyayat-nyayat hati. Bukan apa-apa, orangtua mana pun pasti berpikir panjang untuk memasrahkan anak gadisnya kepada laki-laki yang senin-kamis pendapatannya. Kecuali Anda sudah segila saya!
Lantas, siapa yang menuai uang paling banyak dari sebuah novel yang terjual di toko buku? Oh, bukan penerbit. Kadang-kadang penerbit hanya menerima 40 s.d. 50% dari harga jual. Kalaupun beruntung jualan daring, barulah menerima pemasukan sebesar 60% dari harga jual.
Sebut saja keuntungan penerbit sebesar 40% dari harga jual. Aih, 10% persen dari pendapatan itu sudah pasti jatah penulis. Jadilah penerbit hanya mengepul 30%. Dari pendapatan 30% itu mesti keluar untuk membayar bea cetak, menyewa kantor, menggaji karyawan, mengupah editor, dan biaya lain yang bikin bengek.
O ya, kita kembali pada pendapatan penulis. Apakah royalti sebesar 10% sudah sepenuhnya milik penulis? Belum, Kawan. Masih ada potongan pajak. Besarannya variatif. Makin besar nilai royalti makin besar pula nilai pajak yang mesti dibayar.
Celakanya, penulis tidak tercantum sebagai salah satu profesi yang diakui di negeri tercinta ini. Sewaktu saya ingin memperpanjang KTP tahun 2014 lalu, saya ogah-ogahan mengisi jenis pekerjaan. Bukan apa-apa, tidak ada profesi penulis dalam formulir kependudukan.
Saat itu saya diminta memilih "wartawan". Lo, saya bukan jurnalis. Lantaran ngotot menolak disebut wartawan, saya pun diminta memilih profesi peneliti. Aduh, makin jauh pucuk dari akar. Terpaksa saya pilih seniman. Kebetulan saya menganggap menulis itu seni merangkai kata.
Apakah teman saya berhenti menulis? Tidak. Sampai sekarang ia masih menulis. Pekerjaan pokok yang ia lakoni tetap penulis. Hanya saja, hidupnya kembang-kempis. Kadang mengembang kalau royalti lancar, kadang mengempis jika royalti seret. Namun, lebih sering seret daripada lancar.
Bolehlah kalian bercita-cita menjadi penulis, asalkan itu pekerjaan sambilan. Pekerjaan pokok, ya, jangan penulis. Bisa dokter, guru, tentara, atau polisi. Itu jauh lebih menjanjikan. Dapat gaji bulanan, tiap enam bulan menerima royalti.
Kalaupun Anda benar-benar bersikukuh tetap menjadi penulis, carilah pasangan yang punya gaji atau pendapatan rutin bulanan. Sekalipun royalti Anda kurang mencukupi, setidaknya keluarga Anda bisa bertahan hidup dari gaji atau pendapatan bulanan.
Itu saran saya. O ya, saran ini seturut dengan pendapat teman saya, Puthut EA, yang beliau nukilkan di laman Facebook-nya. Beliau memang penulis purnawaktu, kendatipun bukan teman penulis yang saya contohkan di atas.
Maka dari itu, Kawan, jauhkanlah angan-angan menjadi penulis dari kepala Anda. Kecuali penulis bukan pekerjaan pokok Anda. Sah-sah saja kita berpendapat bahwa menulis itu pekerjaan mulia. Ya, itu benar.
Hanya saja, pahala dan semacamnya tidak bisa dijadikan alat tukar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung sebelah. Tidak percaya? Silakan ke toko di depan rumah, minta sekarung beras, lalu bayar dengan sebait puisi. Kalau tidak diomeli, boleh jadi ditimpuk!
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H