Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akibat Rasis, David Mohon Maaf Segede Gaban

13 Desember 2020   12:28 Diperbarui: 13 Desember 2020   12:53 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Permohonan maaf David Marsudi kepada Chong Sung Kim di Harian Kompas (Foto: Twitter/@icblues)

Kemarin saya tercengang. Pokok pangkalnya, cuitan @icblues di Twitter tentang permintaan maaf David Marsudi (Sabtu, 12/12/2020) kepada pengacara Chong Sung Kim, S.H., M.H. Permintaan maaf itu menguasai seperempat halaman koran Kompas. Jelas tidak murah. Itu permohonan maaf kelas kakap yang kemungkinan menelan biaya puluhan juta.

Apa pasal sehingga David Marsudi harus mengeruk rekeningnya buat bea iklan meminta maaf? Ia mempertanyakan keindonesiaan Sung Kim. Tidak tanggung-tanggung, David mengoyak kalbu Sung Kim dengan mempertanyakan kemampuan menyanyikan Indonesia Raya dan menghafal Pancasila. Tindakan rasial yang menyayat hati.

Tentu ada pangkal sebab sehingga David berlaku demikian. Pemilihan Ketua P3SRS Paladian Park Kelapa Gading gara-garanya. Kala itu, Minggu (5 Agustus 2018), Sung Kim maju selaku calon ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS).

Sebagaimana tertera dalam permintaan maafnya, David mengurai kronologi perkataan rasisnya kepada Sung Kim. Ia menanggapi paparan visi dan misi Sung Kim dengan satire. Ia menggugat nasionalisme penghuni apartemen andaikan memilih Sung Kim selaku ketua pengurus.

Permohonan maaf David Marsudi kepada Chong Sung Kim di Harian Kompas (Foto: Twitter/@icblues)
Permohonan maaf David Marsudi kepada Chong Sung Kim di Harian Kompas (Foto: Twitter/@icblues)

"Dia orang Korea. Kenapa orang asing menjadi Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun Apartemen sini? Nasionalisme orang Indonesia ke mana?"

Begitu tanggapan David atas visi dan misi Sung Kim. Faktanya, Sung Kim ternyata bukan orang asing. Pengacara keturunan Korea itu ternyata Warga Negara Indonesia. Di sini sudah terlihat salah todong David. Lantaran WNI, Sung Kim berarti bukan orang asing. Di situ David salah tuding lagi. Makin parah tatkala David mengubek-ubek rasa nasionalisme. Itu rasial.

Bahkan andaikan kita tilik gelar pun, sepintas sudah terang terlihat bahwa Sung Kim menempuh pendidikan hukum di Indonesia. Mestinya David tidak asal kecap. Setidaknya mencari data dulu baru mengoceh. Ternyata Sung Kim terdaftar selaku pengacara di Peradi dengan Nomor Sertifikat Lulus Ujian 07-09376/PERADI-PUPA/X/15.

Namun, saya tidak akan mengulas kewarganegaraan Sung Kim. Saya lebih tertarik pada kenapa, bagaimana, dan untuk apa David mengeluarkan pernyataan senyelekit itu. Melihat alasan, tentu kita sah tidak habis pikir. Bukan partisan dan timses kandidat lain, tetapi David gelap mata.

Lalu, mengalirlah kalimat rasial. Dia bisa nggak Pancasila? Coba suruh bernyanyi Indonesia Raya. Dua kalimat itu lebih tajam dari badik atau parang. Jejaknya luka batin, bukan luka lahir. Makin hari perilaku kita makin jauh dari manusiawi. Diskriminasi ras seperti bom waktu yang tersimpan rapi di hati dan bisa meledak kapan saja.

Dalam surat permintaan maaf itu masih ada pernyataan yang sungguh memedihkan hati. Pada butir (a) tertera klausa "sangatlah tidak pantas dan tidak layak diucapkan, terlebih dalam sebuah forum diskusi".

Dada saya laksana terkena bogem Mike Tyson. Benak saya dipenuhi tanda tanya. Apakah ada tempat dan peristiwa yang mengesahkan kita untuk bertindak rasis kepada orang lain? Apakah ada forum atau ruang yang membuat kita patut dan layak berlaku rasis kepada orang lain?

O, tidak. Seyogianya kita halau jauh-jauh betik pikiran tentang David salah sindir orang. Ia kena "batu sendiri karena menimpuk pengacara". Tidak begitu. Mau pengacara atau bukan, mau kaya atau tidak, kita tidak dilimpahi hak dan wewenang untuk menindas kejiwaan orang lain.

Tengoklah media sosial belakangan ini. Umpatan rasis mudah sekali berhamburan. Mencaci sosok lain gara-gara garis keturunan seperti menjadi hobi yang dapat dilakukan sekehendak hati. Istilah rasial bermunculan lebih banyak dibanding jamur pada musim hujan.

Tidaklah aneh apabila kita kerap diingatkan agar menjaga mulut. Mulutmu harimaumu. Petuah itu pasti sangat sering kita baca atau dengar. Namun, apakah kita sudah mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari? Belum. Masih jauh asam dari garam. Masih jauh satai dari api.

Hanya karena seseorang lahir dari rahim seorang ibu bersuku anu, bukan berarti orang itu berwenang menghina, mengejek, atau merisak warga keturunan. Sebaiknya kita hentikan tabiat menakar kualitas kewarganegaraan berdasarkan garis darah atau silsilah. Sudah bukan zamannya.

Memilah kewarganegaraan dari garis darah sejatinya merupakan warisan kolonial. Pasal 163 Indische Staatsinrichting dibagi berdasarkan nasionalitas dan bukan kriteria ras, faktanya kriteria raslah yang dominan digunakan. Seseorang yang berasal dari Belanda dan Eropa (Nederlanders dan Europeanen) mendapat perlakuan berbeda dibanding orang lain dari Hindia Belanda dan Timur Asing (inheemsem dan uitheemsem). Itu kebijakan zaman penjajahan.

Coba bayangkan. Sengkarut pernyataan rasial itu sudah terjadi dua tahun silam, 5 Agustus 2018, tetapi baru kemarin pernyataan maaf David muncul di koran. Sung Kim butuh dua tahun untuk menunggu satu permintaan maaf.

Apa hikmah yang dapat kita petik dari kekhilafan David? 

Berhentilah berlaku rasis. Hentikan caci maki. Jauhkan istilah-istilah rasial dari benak. Hanya karena kita manusia bukan berarti kita bisa otomatis menjadi manusiawi. Hanya karena kita sudah lahir sebagai manusia, bukan berarti kita sudah menjadi manusia.

Berusahalah menjadi manusia.

Salam takzim, Khrisna Pabichara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun