O, tidak. Seyogianya kita halau jauh-jauh betik pikiran tentang David salah sindir orang. Ia kena "batu sendiri karena menimpuk pengacara". Tidak begitu. Mau pengacara atau bukan, mau kaya atau tidak, kita tidak dilimpahi hak dan wewenang untuk menindas kejiwaan orang lain.
Tengoklah media sosial belakangan ini. Umpatan rasis mudah sekali berhamburan. Mencaci sosok lain gara-gara garis keturunan seperti menjadi hobi yang dapat dilakukan sekehendak hati. Istilah rasial bermunculan lebih banyak dibanding jamur pada musim hujan.
Tidaklah aneh apabila kita kerap diingatkan agar menjaga mulut. Mulutmu harimaumu. Petuah itu pasti sangat sering kita baca atau dengar. Namun, apakah kita sudah mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari? Belum. Masih jauh asam dari garam. Masih jauh satai dari api.
Hanya karena seseorang lahir dari rahim seorang ibu bersuku anu, bukan berarti orang itu berwenang menghina, mengejek, atau merisak warga keturunan. Sebaiknya kita hentikan tabiat menakar kualitas kewarganegaraan berdasarkan garis darah atau silsilah. Sudah bukan zamannya.
Memilah kewarganegaraan dari garis darah sejatinya merupakan warisan kolonial. Pasal 163 Indische Staatsinrichting dibagi berdasarkan nasionalitas dan bukan kriteria ras, faktanya kriteria raslah yang dominan digunakan. Seseorang yang berasal dari Belanda dan Eropa (Nederlanders dan Europeanen) mendapat perlakuan berbeda dibanding orang lain dari Hindia Belanda dan Timur Asing (inheemsem dan uitheemsem). Itu kebijakan zaman penjajahan.
Coba bayangkan. Sengkarut pernyataan rasial itu sudah terjadi dua tahun silam, 5 Agustus 2018, tetapi baru kemarin pernyataan maaf David muncul di koran. Sung Kim butuh dua tahun untuk menunggu satu permintaan maaf.
Apa hikmah yang dapat kita petik dari kekhilafan David?Â
Berhentilah berlaku rasis. Hentikan caci maki. Jauhkan istilah-istilah rasial dari benak. Hanya karena kita manusia bukan berarti kita bisa otomatis menjadi manusiawi. Hanya karena kita sudah lahir sebagai manusia, bukan berarti kita sudah menjadi manusia.
Berusahalah menjadi manusia.
Salam takzim, Khrisna Pabichara