Semua penulis pasti ingin kaya. Rasa-rasanya tidak ada penulis yang ingin melarat. Saya juga begitu. Paling tidak ada tiga kekayaan yang sangat saya dambakan: kaya cinta, kaya kata, dan kaya harta.
Saya sudah kaya cinta. Saya mencintai dunia tulis-menulis. Saya mencintai kebiasaan membagi ilmu. Saya mencintai satu-satunya perempuan pepuja hati. Tiga cinta itulah bekal saya dalam mengarungi hidup pedis (baca: perih dan pedih) ini. Saya pikir begitu.
Saya sudah kaya kata. Saya menyukai tabiat mengulik kamus. Saya menyukai perilaku mengutak-atik kata. Saya menyukai satu-satunya perempuan mata air inspirasi. Tiga kesukaan itu menggenapi bekal saya dalam melayari lautan literasi. Saya pikir begitu.
Satu-satunya kekayaan yang tidak pernah lama saya nikmati adalah kaya harta. Dalam satu masa banyak uang, pada tiga masa fakir duit. Bukan karena saya dan pasangan saya tidak pandai menata keuangan, bukan. Fluktuasi royalti dan resesi honorarium penyebabnya. Saya pikir begitu.
Bagaimana dengan Anda? Percayalah, jika Anda rajin menulis puisi maka hati Anda akan merasa kaya. Kaya akan rasa bahagia, bukan kaya harta. Padahal, puisi mustahil kita jadikan alat tukar jual-beli bahan makanan. Saya pikir begitu.
Amboi, saya terlalu banyak berpikir. Pantas rambut saya semakin panjang. Oke, Kawan. Sekian basa-basi saya pada hari keenam dalam Bulan Bahasa 2020. Saya berharap Anda berada dalam kondisi sehat di tengah amuk pagebluk yang luar biadab ini.
Sebelum kita mulai bertualang, ada baiknya Anda tilik infografis di bawah ini.
Kali ini kita masih berkutat pada tema kekayaan bahasa Indonesia. Topiknya masih seputar onomatope serta hubungannya dengan penulis. Ya, penulis. Anda dan saya. Hanya saja, kali ini saya tidak menyasar penulis fakir kata. Saya tobat gara-gara kemarin banyak yang memprotes frasa "fakir kata".
Jadi, perkenankan saya pilih frasa "kaya kata". Semoga Anda termasuk penulis yang kaya kata. Mereka juga. Kalaupun belum, mudah-mudahan Anda dan mereka mau bergerak menuju istana kosakata. Tenang, saya akan mengantar Anda ke sana.
Kemarin telah kita sisir onomatope suara air, jatuh, dan tanaman. Hari ini saya berniat mengajak Anda menyelam ke dasar tasik untuk memetik onomatope suara hewan. Mungkin kepala Anda disesaki rupa-rupa pertanyaan. Misalnya, apa guna onomatope suara hewan bagi penulis?
Pertanyaan yang masuk akal. Bagi penulis artikel politik yang saban hari berjibaku meronce fenomena teranyar, barangkali artikel ini kurang berarti. Politikus dan suara hewan jelas berjarak, sekalipun ada "tikus" dalam kata "politikus".
Lain hal jikalau Anda seorang penulis fiksi. Boleh jadi artikel ini berguna. Jika tidak hari ini, mungkin suatu hari nanti. Sebenarnya penulis nonfiksi yang biasa menggunakan gaya faksi, tulisan faktual yang dikemas dengan gaya fiksi, juga berpotensi membutuhkan artikel ini. Saya pikir begitu.
Maaf, saya berpikir lagi. Lupakan. Lebih baik kita mulai berpelesir. Ayo, kita mulai dari tiruan bunyi suara anjing. Bahasa Indonesia mencatat banyak kata yang bertalian erat dengan onomatope suara anjing.
Simpan dulu tabel di bawah ini sebelum Anda lanjut membaca artikel ini.
Kalau ingin menakut-nakuti Anda, anjing memakai "kung-kung". Onomatopenya disebut dengkung. Perbuatannya disebut mendengkung. Manakala anjing kehilangan tabah sampai-sampai ingin main terkam, anjing akan menggereng-gereng.
Giliran Anda kesal sampai main pukul hingga anjing kesakitan, secara refleks anjing akan mengaing. Ada pula cengking, cengkung, dan lengking. Hati-hati jangan sampai anjing terlalu berat menanggung sakit, bisa-bisa ia melolong. Aduhai, banyak nian onomatope tentang anjing.
O ya, suara anjing bocah dan anjing akil balik tidak sama. Anjing dewasa menggonggong, anjing balita menguik. Maklum, taji dan gigi belum tumbuh. Jadi, kalau Anda merangkai deskripsi tentang bayi anjing yang mengongkong (menggonggong sangat keras, dari kata kongkong), Anda keliru.
Silakan simak sejenak tabel berikut ini.
Selain kiuk, ayam juga punya onomatope kaok dan keok. Jika tertangkap dan memberontak ingin lepas berarti sang ayam mengaok. Jika takluk dan pasrah menerima nasib, jerit lirih ayam disebut mengeok. Manusia lantas meminjam kata keok bagi siapa pun "yang kalah atau dikalahkan".
Kambing juga unik karena bisa membebek. Ya, hewan yang takut hujan itu mengeluarkan bunyi "bek". Sebagian manusia menyebut suara itu "embek", sebagian lagi "embik". Malah ada yang menyebutnya "bebek". Jadilah mengembik, mengembek, dan membebek.
Lantaran kita sedang tidak mencari kambing hitam, mari kita cermati onomatope suara kuda. Banyak penulis yang hanya tahu "ringkik" untuk tiruan suara kuda, padahal ada kata yang lain. Rengeh. Jika kuda mengeluarkan bunyi rengeh, berarti kuda sedang merengeh. Bukan meringkik.
Bunyi kaki kuda yang berjalan pelan dan lambat disebut mendepak, sedangkan yang berjalan agak cepat atau berlari disebut menderap. Jika sekawanan kuda berlari, bunyi kakinya akan berderap-derap. Bagaimana dengan kuda yang berhenti berjalan atau berlari? Mungkin ia sedang menggigit besi.
Ini tabel terakhir, silakan simpan kalau Anda merasa butuh.
Silakan tilik infografis berikut ini.
Saya sudah mengantar Anda ke dasar telaga pesugihan kosakata. Sekarang Anda sudah menyimpan 186 kata tiruan suara hewan. Lumayan, ya. Hanya lima menit membaca artikel ini, bekal kosakata Anda bertambah banyak. Mudah-mudahan imajinasi Anda ikut bertumbuh.
Tunggu sebentar, masih ada yang ingin saya perlihatkan. Anda tahu buaya? Saya yakin Anda tahu. Nah, ini baru sulit. Tahukah Anda tiruan bunyi suara buaya?
Oh, ternyata Anda menggeleng. Baiklah saya kasih tahu saja. Onomatope untuk suara buaya ialah "hai" atau "hei". Itu khusus untuk onomatope suara buaya darat. Kalau buaya darat di Timur bunyinya "hai Nona", kalau di Barat menjadi "hai Mbak" atau "hai Neng". Eitz! []
Salam Bulan Bahasa, Khrisna Pabichara
Jika belum baca, silakan mampir: Onomatope dan Penulis Fakir Kata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H