Mendengar Binar memilih Getas membuatku ingin mengunyah batu.
Apa yang Anda dapatkan setelah membaca paragraf pembuka dengan kalimat tunggal di atas? Ada kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan. Kalimat tersebut menguraikan "mengapa" sebagai alasan seorang tokoh melakukan sesuatu. Apa yang akan dilakukan oleh "sang aku"? Ingin mengunyah batu.
Ketika seorang prosais, cerpenis ataupun novelis, menaja narasi acapkali terpaku pada karakter fisik tokoh. Mereka rata-rata abai pada kondisi psikologis tokoh. Seakan-akan tokoh yang mereka ciptakan sebatas manekin tak bernyawa. Dikasih pakaian, lalu dipajang.
Padahal, pembaca mengangankan dan menginginkan curahan emosi. Bandingkan jika kalimat tunggal dalam pembuka di atas saya tukar menjadi seperti ini.
Aku mudah terluka. Gampang sekali sakit hati. Begitu mendengar perempuan yang kucintai memilih lelaki lain, aku kecewa. Binar memilih Getas. Aku terpukul. Marah.
Kalimat pengganti di atas sebenarnya cukup bagus. Deskripsi batin tokoh juga tergambar. Namun, ada lubang penokohan yang menganga tanpa kita sadari. Kurang kuat. Intensinya lemah. Bahkan andai si tokoh adalah sosok yang lemah tak berdaya, niscaya ada hasrat memberontak setidaknya tatkala ia sendirian.
Nah, hasrat memberontak itulah yang terlihat jelas dalam paragraf pembuka pada artikel ini. Maka dari itu, terus pantengi tulisan ini hingga rampung. Saya akan berbagi cara tentang bagaimana mencipta tokoh cerita yang segar dan hidup. Bukan manekin tanpa nyawa.
Saya tidak mengatakan bahwa laku sedemikian ilegal, tidak. Sayang saja. Bahkan dalam menulis fiksi pun kita mesti pintar hitung-hitungan. Jika membeli tunai membuat kita keteteran, apa susahnya mengangsur pembayaran. Seperti itu pula saat kita menciptakan tokoh. Cicil karakter fisik ke dalam beberapa paragraf.
Camkan! Karakter fisik bukan sekadar membabar gambaran tokoh, melainkan sekaligus citra benda-benda yang ada di sekitar tokoh. Bagaimana si tokoh memperbaiki tali sepatu yang terurai, cara sang tokoh meregangkan pundak dan leher, atau memainkan ujung baju ketika sedang gugup.
Tokoh yang segar dan hidup pasti punya gaya dan kebiasaan unik. Ada yang gemar memeluk lutut kala dicecar duka, ada yang suka meninju tembok tatkala merasa sangat kecewa. Ada yang megap-megap jika menahan marah, ada yang menangis tanpa suara ketika berduka.
River tidak pernah sehisteris ini. Biasanya ia hanya tersenyum jika menerima hadiah. Itu pun sekilas. Lalu, memainkan kancing baju. Diam. Lalu, menunduk dalam-dalam seperti mencari seekor semut di lantai. Kali ini tidak. Ia tertawa. Melonjak girang. Matanya seperti meloncat ke luar dari pelupuknya.
River seorang pemalu, tetapi saya tidak akan blak-blakan mencantumkan kata pemalu ke dalam narasi. Jika saya mengambil jalan pintas seperti itu berarti saya sedang membatasi imajinasi pembaca. Daya khayal pembaca tidak meledak. Bergerak, tetapi jalan di tempat. Tidak ke mana-mana.
Saya tuangkan emosi tokoh ke dalam narasi. Perhatikan klausa "seperti mencari seekor semut di lantai" yang tampak sederhana, tetapi dapat memberikan intensi imaji kepada pembaca. Bandingkan "ia amat senang" dengan "matanya seperti meloncat keluar dari pelupuknya". Rasanya berbeda.
Itulah karakter psikis. Sekarang silakan cermati infografis di bawah ini.
Pada poin kedua ada pengorbanan. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa kita akan kesal jikalau seorang teman sudah berkali-kali disakiti, tetapi tidak melakukan apa-apa selain pasrah. Kita berharap teman kita itu melakukan perubahan. Jika tidak memperbaiki sesuatu, barangkali berkorban dengan cara meninggalkan sumber duka.
Poin berikutnya silakan Anda kembangkan dan bayangkan sendiri. Saya yakin Anda bisa. Kenapa? Ah, selama ini Anda terlalu yakin bahwa menulis itu, ya, menulis saja. Anda lupa bahwa memasak saja ada kiat, teknik, dan taktiknya agar masakan lezat, gurih, dan bergizi.
Kawan, seorang dokter gigi pasti tahu bahwa ekskavator dan golok sama-sama dapat digunakan untuk membersihkan sesuatu. Akan tetapi, membersihkan karies gigi jelas harus memakai ekskavator. Bukan golok. Bisa-bisa gigi pasien rompal dan tanggal. Itu juga kalau pasien tidak mengamuk melihat golok.
Dengan demikian, teori mengarang mesti Anda pelajari selama Anda ingin melahirkan cerita yang apik dan renyah dibaca. Salah satu yang mesti Anda sigi adalah cara memainkan kondisi psikis tokoh lewat deskripsi fisik.
Ada kekerasan terselubung memancur di matanya. Aku tidak perlu mendengar kata-kata kasar dengan nada mengancam. Tatapannya sudah membunuhku.
Tiga kalimat di atas jelas lebih mempan meletikkan bara imaji pembaca daripada kita terang-terangan memakai "ia pemarah dan berbahaya". Kuasa kata lebih terang karena contoh di atas menggunakan kata kerja aktif (memancur, mendengar, mengancam, membunuh).
Penggunaan kata kerja aktif akan menggerakkan teks. Apalagi jika melibatkan pancaindra. Tilik kembali kata per kata: memancur (penglihatan), mendengar (pendengaran), mengancam (perasa), dan membunuh (peraba). Selain kata kerja aktif, kita libatkan juga kuasa pancaindra.
Sebagai pencerita, hindari ego merasa paling tahu. Berikan ruang bagi pembaca untuk terlibat dalam cerita. Biarkan pembaca bebas menggunakan imajinasi. Ajak mereka merubungi cerita, bukan usir pembaca dengan membatasi ruang khayal. Ingat, pembaca bukan manekin yang tidak tahu apa-apa.
Jangan ingat, segala-gala yang berasal dari hati lesapnya ke dalam hati jua. Kecuali kalau Anda tidak punya hati. []
Salam Bulan Bahasa, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H