Kompasianer mestinya mengenal beliau. Tjiptadinata Effendi. Kebangetan kalau belum kenal. Aih, maaf. Tidak begitu. Saya mestinya menulis seperti ini:Â Kalau belum kenal, silakan cari tahu tentang beliau. Itu baru pas!
Ya. Opa Tjipta. Saya akan sapa seperti itu sekalipun beliau tidak pernah menganggap saya selaiknya cucu. Tidak apa-apa. Barangkali saya terlalu dewasa untuk disetarakan dengan Kevin Effendi--cucu sekaligus "guru kekinian" beliau.
Sekali waktu saya sapa beliau dengan sebutan Ayahanda Tjipta. Beliau masih enggan mengiya. Ah, tidak apa-apa. Mungkin usia saya kemudaan untuk dianggap anak. Faktanya, tidak begitu. Jikalau saya dianggap kemudaan, tentulah saya tidak akan disapa "Pak Khrisna".
Opa Tjipta memang berbeda. Konsistensi beliau layak ditiru. Berbeda dengan Engkong Felix yang gampang goyah. Dulu menyebut saya "Pak Khrisna", sekarang diganti menjadi "Daeng". Meski begitu, santai saja.Â
Apalah arti kata sapaan. Mau mas, abang, akang, kaka, om, atau paman terserah saja. Yang penting sayang. Bagaimanapun cara beliau menyapa saya tetap tidak akan mengurangi setitik pun rasa takzim saya kepada beliau.
Anda tahu kenapa saya begitu takzim kepada Opa Tjipta?
Karena saya mendaku murid beliau. Tiap hari saya berguru kepada beliau. Tiap hari saya menimba ilmu di sumur inspirasi beliau. Sumur dengan mata air yang selalu memancur. Ada saja yang saya pelajari. Ada saja yang saya petik. Entah dari tulisan entah dari komentar beliau.
Nah, tadi pagi saya dianugerahi mantra oleh beliau. Ubun-ubun saya serasa ditiupi amat lembut, rambut saya diusap seruah kasih, lalu beliau melafalkan mantra sakti. Menulis adalah kebutuhan jiwa.Â
Kini silakan Anda berimajinasi. Bayangkan saya di Indonesia dan beliau di Australia. Bayangkan bagaimana ubun-ubun saya ditiup, rambut saya dibelai, lalu mantra dilimpahkan.
Kisanak, sekarang kita babar mantranya. Menulis itu kebutuhan jiwa. Jika tubuh kasar kita butuh makanan dan minuman agar tetap sehat dan bugar, tubuh halus kita juga begitu. Jiwa kita butuh makan. Batin kita butuh minum. Makanannya menulis, minumannya membaca.
Jangan ingat, beliau menulis setiap hari. Beliau juga punya jadwal rutin yang khusus beliau luangkan untuk bertandang ke artikel para Kompasianer. Kadang sejam kadang dua jam. Setiap hari begitu. Ya, begitu setiap hari. Sama seperti memberi makan dan minum pada tubuh kasar.
Mengapa beliau menyebut "menulis itu kebutuhan jiwa"?Â
Begini, Kawan. Banyak riset yang membuktikan bahwa menulis setiap hari sangat berguna bagi kita.
Kedua, meningkatkan daya ingat. Benar begitu? Ya. Selama Anda menulis setiap hari, selama itu pula daya ingat Anda terasah. Baca saja tulisan Opa Tjipta. Beliau dapat dengan apik menceritakan kisah atau kejadian puluhan tahun dengan runut dan runtun. Sekalian baca juga tulisan Oma Roselina Effendi.
Ketiga, memperbaiki suasana hati. Begitukah? Ya. Apabila Anda terbiasa menulis setiap hari maka Anda akan terbiasa pula menumpahkan galau, risau, cemas, tawa, air mata, atau luka mahaluka. Itu sangat menyehatkan. Semarah apa pun Anda, tidak mungkin Anda mengetik dengan kepalan tinju.
Menulis itu kebutuhan jiwa. Mantra yang sangat berguna. Merapalnya mudah, praktiknya susah. Bagi Anda. Bagi Opa Tjipta, tidak. Beliau menulis tiap hari dan sekarang sudah menghasilkan lebih dari 5.000 artikel. Lebih pasnya, 5.076 hingga tulisan ini tayang. Luar biadab untuk penulis seusia beliau.
Anda juga bisa begitu. Luangkan saja waktu setidaknya satu jam tiap hari. Jadilah satu artikel. Tata waktu Anda. Atur waktu Anda. Bukan dibalik. Anda yang ditata dan diatur waktu. Saya yakin Anda bisa. Saya sangat yakin. Hanya saja, keyakinan kerap mesti dibarengi oleh kemauan.
O ya, mantra itu beliau tuturkan kepada saya di kolom komentar. Silakan Anda sambangi sendiri jika ingin memungut mantra itu secara langsung. Mantranya ada di artikel ini: Menulis adalah Terapi Jiwa.
Tugas saya sudah kelar. Saya wajib menyampaikan mantra Opa Tjipta kepada Anda. Semoga Anda mau mengingat, menyimpan, dan memeramnya di tempurung kepala. Itu sangat bagus. Pasti lebih bagus lagi kalau Anda praktikkan.
Bagaimana dengan Engkong Felix? Mohon maaf. Nganu. Ah, nga-nga-nu-nu. Aduh, entah kenapa saya tiba-tiba gagap dan gugup. Pasti gara-gara kertas kerja linguistik yang belum kelar.
Salam takzim, Khrisna Pabichara