Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mantra Opa Tjiptadinata: Menulis Itu Kebutuhan Jiwa

26 September 2020   21:26 Diperbarui: 26 September 2020   21:49 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasianer mestinya mengenal beliau. Tjiptadinata Effendi. Kebangetan kalau belum kenal. Aih, maaf. Tidak begitu. Saya mestinya menulis seperti ini: Kalau belum kenal, silakan cari tahu tentang beliau. Itu baru pas!

Ya. Opa Tjipta. Saya akan sapa seperti itu sekalipun beliau tidak pernah menganggap saya selaiknya cucu. Tidak apa-apa. Barangkali saya terlalu dewasa untuk disetarakan dengan Kevin Effendi--cucu sekaligus "guru kekinian" beliau.

Sekali waktu saya sapa beliau dengan sebutan Ayahanda Tjipta. Beliau masih enggan mengiya. Ah, tidak apa-apa. Mungkin usia saya kemudaan untuk dianggap anak. Faktanya, tidak begitu. Jikalau saya dianggap kemudaan, tentulah saya tidak akan disapa "Pak Khrisna".

Opa Tjipta memang berbeda. Konsistensi beliau layak ditiru. Berbeda dengan Engkong Felix yang gampang goyah. Dulu menyebut saya "Pak Khrisna", sekarang diganti menjadi "Daeng". Meski begitu, santai saja. 

Apalah arti kata sapaan. Mau mas, abang, akang, kaka, om, atau paman terserah saja. Yang penting sayang. Bagaimanapun cara beliau menyapa saya tetap tidak akan mengurangi setitik pun rasa takzim saya kepada beliau.

Anda tahu kenapa saya begitu takzim kepada Opa Tjipta?

Karena saya mendaku murid beliau. Tiap hari saya berguru kepada beliau. Tiap hari saya menimba ilmu di sumur inspirasi beliau. Sumur dengan mata air yang selalu memancur. Ada saja yang saya pelajari. Ada saja yang saya petik. Entah dari tulisan entah dari komentar beliau.

Nah, tadi pagi saya dianugerahi mantra oleh beliau. Ubun-ubun saya serasa ditiupi amat lembut, rambut saya diusap seruah kasih, lalu beliau melafalkan mantra sakti. Menulis adalah kebutuhan jiwa. 

Kini silakan Anda berimajinasi. Bayangkan saya di Indonesia dan beliau di Australia. Bayangkan bagaimana ubun-ubun saya ditiup, rambut saya dibelai, lalu mantra dilimpahkan.

Kisanak, sekarang kita babar mantranya. Menulis itu kebutuhan jiwa. Jika tubuh kasar kita butuh makanan dan minuman agar tetap sehat dan bugar, tubuh halus kita juga begitu. Jiwa kita butuh makan. Batin kita butuh minum. Makanannya menulis, minumannya membaca.

Jangan ingat, beliau menulis setiap hari. Beliau juga punya jadwal rutin yang khusus beliau luangkan untuk bertandang ke artikel para Kompasianer. Kadang sejam kadang dua jam. Setiap hari begitu. Ya, begitu setiap hari. Sama seperti memberi makan dan minum pada tubuh kasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun