Rumah jangan dianggap penjara, desis saya. Rumah itu, desis saya lagi, kebun paling subur untuk menyemai bibit cinta dan benih harapan.
![Dokumen Olah Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/09/26/cemas-5-5f6ede19d541df6c2a53bab2.jpg?t=o&v=555)
Lakukan apa yang kalian senangi. Tidak ada bos yang akan memarahi kalian. Tidak ada atasan yang datang mengata-ngatai kalian. Mumpung di rumah, lawan si Cemas. Selama tugas kalian kelar, tidak ada alasan si Cemas mengusik batin kalian.
![Dokumen Olah Pribadi (templat slidesgo)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/09/26/cemas-4-5f6ede3dd541df6f14504462.jpg?t=o&v=555)
Pererat tali komunikasi, ujar saya. Mendadak saya beralih profesi menjadi penceramah. Kerabat dekat yang jarang kalian hubungi cobalah kontak sekarang. Tanya kabar mereka. Kalau perlu lakukan panggilan video. Mumpung kalian tidak dalam tangkapan kamera pengintai.
Mereka serempak kasak-kusuk. Gawai serentak dinyalakan. Mereka sibuk sendiri. Saya mendengus. Ceramah belum kelar, mereka sudah mabuk gawai. Menyadari ada yang tidak beres, satu per satu menengadah. Mata mereka seolah-olah mengatakan "maaf, Daeng, kami langsung praktik".
Hargai apa yang kalian miliki, sergah saya. Nikmati apa yang tengah kalian jalani, sergah saya lagi. Mereka manggut-manggut. Riswan berdiri. Tarkim berdiri. Roman ikut berdiri. Lama-lama semuanya berdiri. Perasaan saya mulai takenak.
Istriku menunggu, kata Riswan. Hargai harta yang dimiliki, kata Roman. Semuanya meninggalkan warkop. Saya menggeleng-geleng. Beginilah nasib motivator gratisan. Motivasi mehong dibayar dengan lengos. Tanpa basa-basi. Tanpa terima kasih.
"Semuanya tiga puluh tiga ribu, Daeng," ujar Kang Mamat sambil mengangkati gelas. "Segelas tiga ribu. Ini ada sebelas gelas."
Saya terpangah.
Salam takzim, Khrisna Pabichara