Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Mengungkap 3 Jimat Keberuntungan Pengarang

25 September 2020   21:29 Diperbarui: 27 September 2020   16:38 1839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungguh, aku lebih memilih cinta daripada tradisi yang abai meletakkan manusia pada tempat yang sesungguhnya.

Kalimat pembuka di atas saya kutip dari cerpen Gadis Pakarena. Pekan ini, cerpen tersebut sempat mengentak benak saya. Zoe McLaughlin gara-garanya. Peneliti dari Universitas Michigan itu menguliti Gadis Pakarena.

Dalam kajian yang menyandingkan Gadis Pakarena dengan cerpen Bintang Jatuh gubahan Iksaka Banu, Zoe benar-benar menguliti sampai-sampai isi hati saya, selaku pengarang, merasa ditelanjangi. Ia seperti pemburu jitu yang tahu cara berpikir dari sudut pandang mangsanya.

Zoe bisa menangkap titik tolak kisahan saya, yakni berangkat dari dua orang yang terkena dampak Kerusuhan Mei 1998. Saya memang tidak berangkat dari persoalan besar tentang perkosaan massal atas perempuan Tionghoa itu benar-benar terjadi atau tidak. Faktanya, tidak pernah ada upaya serius untuk menyingkap misteri itu.

Pada tataran akar rumput, rasisme dan perlakuan timpang terhadap etnis Tionghoa memang ada dan benar-benar terjadi. Meskipun pada sisi lain, tidak sedikit juga keturunan Tionghoa yang memandang remeh etnis di luar mereka. Itulah tumpuan imajinasi saya saat menganggit Gadis Pakarena.

Kita sibuk mengurus hal-hal besar sehingga lalai memperhatikan hal-hal kecil. Ada korban, ada yang menderita, ada yang terdampak. Ke mana negara? Itu pertanyaan besar yang saya usung lewat dua tokoh dalam Gadis Pakarena, yakni Kim Mei dan Tutu.

Dari tilikan Zoe itulah tebersit hasrat untuk sedikit menyingkap rahasia kepengarangan saya. Ya, ini hajat emosional mengungkap sesuatu yang kerap kita sebut proses kreatif. Hampir semua kajian soal Gadis Pakarena saya mamah sampai habis, selama itu tersaji di internet dan bisa saya unduh.

Kalian bisa membaca kajian Mbak Zoe dengan mengeklik tautan ini: Its Light Has Already Faded: The May 1988 Riots in Analogy and Allegory.

Begini, Sobat. Saya punya rumus khusus sebelum, selama, dan setelah menulis satu cerita. Rumus itu saya sebut "3 Jimat Keberuntungan". Hehehe. Ada bau-bau Rudy Gunawan, ya. Kesannya seperti mantra yang dapat memanggil Dewi Fortuna agar menolong saya. Sudahlah, biarkan saya dan Om Rudy bahagia bersama dalam dunia perjimatan.

Sudah, ah. Kita mulai saja. Jika didedah hingga tandas, Jimat Keberuntungan itu terdiri atas (1) riset, (2) rasa, dan (3) rocet. Saya yakin, Anda pasti sudah akrab dengan kata riset dan rasa, tetapi mungkin masih asing pada kata rocet. Tenang saja, saya akan singkap sampai tepercul dan kentara.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Sebenarnya jimat itu tidak saya pakai hanya saat menganggit prosa, baik cerpen maupun novel, tetapi juga saya kalungkan di leher tatkala saya menulis artikel. Dengan kata lain, satu tulisan yang saya gubah selalu mendapat perlakuan sama. Seperti anak, semua saya perlakukan sama dan setara.

Baiklah, Kawan, kita mulai dari jimat pertama. Riset. Begitu satu ide melintas di benak saya, hal pertama yang saya pikirkan adalah data apa dan dari mana sumbernya. Data bagi saya ibarat asupan gizi yang sangat vital bagi "kesehatan" tulisan saya.

Guna mengayakan Gadis Pakarena, misalnya, saya harus berkunjung langsung ke PDS H.B. Jassin, Perpustakaan Nasional, dan Arsip Nasional RI. Data tentang kerusuhan 1998 saya tabung sebanyak-banyaknya. Data itu saya kumpulkan, saya telaah, dan saya pilah dengan telaten.

Malah saya sempatkan menghubungi teman-teman di London untuk mengupayakan kopian kisah Romeo dan Juliet. Gubahan Shakespeare itu saya baca berhari-hari sebelum akhirnya memilih satu titik yang bisa terhubung dengan kisah Kim Mei.

Berapa lama waktu yang saya habiskan untuk mencari bahan cerpen? 

Hampir empat bulan. Berapa honorarium yang saya terima ketika itu dimuat di koran? Tidak banyak. Malah tidak sampai setengah juta. Namun, rasa bahagia saya tatkala cerpen itu diterima pembaca jauh lebih bernilai dibanding honor yang saya terima.

Jimat kedua adalah rasa. Ya, Saya selalu menekankan rasa pada semua anggitan saya. Tidak peduli fiksi atau nonfiksi. Rasa itu bukan sekadar melibatkan perasaan, bukan. Rasa itu terkait juga dengan kemasan. Dengan demikian, rasa baca terikut pula.

Mengapa saya menumpahkan rasa ke dalam tulisan? 

Tulisan kita yang tiba di hadapan pembaca bukan sebatas kertas konvensional atau virtual. Namun, berupa kata-kata yang membawa roh. Ada nyawa. Saya paham benar bahwa teks dapat menggerakkan. Setidaknya, menggerakkan imaji pembaca. Selain itu, pembaca adalah manusia yang bernyawa, punya hati, dan punya rasa.

Lantaran pembaca punya jiwa, naif rasanya jika tulisan yang saya agihkan berasa hambar. Saya juga tidak mau menyodorkan tulisan yang ibarat hamparan tanah datar, kering, dan tandus. Pembaca menanam investasi. Bisa waktu, bisa uang. Celakalah saya jika menyajikan tulisan yang asal-asalan.

Jimat terakhir adalah rocet. Apa itu rocet? Coret. Itu jawaban ringkasnya. Ya, saya punya kebiasaan merocet atau mencoret apa yang sudah saya tulis. Satu kalimat saya perlakukan seperti kerangka layang-layang. Saya raut, timbang, raut lagi, timbang lagi.

Ketika duka menerpa hati saya, ketika kehilangan memilin ketabahan saya, ketika hidup seperti tak menyisakan kegairahan lagi, saya catat dan simpan semuanya. Kadang dalam bentuk tulisan, kadang dalam ingatan. Kemudian saya bubuhkan rasa. Lalu, saya rocet-rocet hingga terasa lezat.

Berikut saya suguhkan contoh hasil rocet-rocet saya pada sajak Riwayat Luka.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Saya lupa berapa kali kata semenjak saya coret. Mula-mula saya pakai "sejak", lalu "semenjak", pindah ke kata "dari", hingga kemudian kembali ke "semenjak". Bolak-balik begitu. O ya, saya masih memakai kebiasaan menulis di kertas sebelum pindah ke laptop. Masih begitu.

Mengapa saya pertahankan kebiasaan itu. Rasa. Ya. Saya selalu merasakan sensasi berbeda ketika bau tinta menyatu dengan aroma kertas. Benak saya kontan berontak ketika menghidu paduan bau itu. Pikiran saya sontak menjadi kuda binal yang lepas dari istal, berlarian kian kemari.

Dapat pula saya sodorkan kutipan dari novel "Natisha: Persembahan Terakhir" berikut ini.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Begitulah, Teman. Tiga jimat keberuntungan itulah yang selama ini saya pakai. Sudah saya limpahkan kepada Anda. Semuanya saya dedah hingga tuntas. Berbagi hal baik jelas bukan perbuatan yang buruk. Kalau tidak percaya, silakan tanya Om Rudy. Moga-moga berguna bagi Anda. Selamat mengarang.

Salam takzim, Khrisna Pabichara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun