"Ayah sibuk?"
Telunjuk kiriku berhenti menggulirkan skrol tetikus. Pertanyaan Rain, putraku, tidak mungkin kujawab asal-asalan. Seraya mendorong kursi dengan mencondongkan punggung ke belakang, aku tersenyum. "Tidak, Nak, Ayah tengah membaca artikel di Kompasiana."
Rain melangkah ke depan komputer personal. Menatap monitor. Manggut-manggut. "Ayah," katanya tanpa menoleh, "Apakah bocah seperti aku berhak ngomong sesuatu?"
Aku tergolong kaum berotak encer, tetapi menjawab pertanyaan kembaran River harus berhati-hati. Kadang ada ranjau tertanam di bawah permukaan gagasannya. "Hmmm...." Aku berhenti dulu. Menunggu reaksi Rain. Matanya masih terpaku ke layar monitor. "Semua manusia berhak ngomong. Tidak peduli bocah atau jompo."
Ia berbalik. Punggungnya bersandar ke meja. "Berarti...." Ia menggantung pernyataannya di langit-langit kamar kerjaku. Tangannya bersedekap. "Pak Yakin keliru." Ia mendongak. Lalu menatapku lekat-lekat. Aku mencium aroma penolakan. "Kemarin beliau bilang, masih bocah sudah banyak omong!"
"Apa tanggapanmu?"
Ia tersenyum. "Bocah wajib hormati orangtua dan guru."
"Begi...." Ia melenggang ke pintu. Tidak peduli kata "begini" belum rampung kuucapkan.
Aku memegang siku meja sambil menarik kursi ke tempatnya semula. Kompasiana mendadak kurang menarik. Rain gara-garanya. Ia lahir ketika aku dan istriku dalam perjalanan ke Puskesmas. Kami berjalan kaki. Gajiku kecil, tidak mungkin sewa bendi. Upah bulanan guru honor di SMP Manatawa bahkan tidak cukup untuk mengangsur cicilan satu sepeda motor.
Di bawah guyuran hujan, di depan Kantor Desa Sukaluka, istriku mencengkam lenganku. Bibir dan mukanya pucat sekali. Aku pikir itu pasti pengaruh cuaca. Bukan. Tangannya gemetaran. Ia pejamkan mata sembari menggeleng-geleng. Tubuhnya oleng. Buru-buru kupeluk. Payung diseret angin.
Perlahan-lahan ia jongkok. Duduk mengangkang sambil mengatakan kebelet berak. Mataku jelingar ke sana-sini. Tidak ada orang. Kutatap matanya seolah-olah aku mengatakan "sudah, berak saja di sini" kepadanya. Ia menunjuk ke kolam di halaman kantor desa. Ada ember merah tergeletak di sisi tembok. Aku mengangguk. Pengar menatap mata perempuan tercinta. Lalu aku berlari ke kolam untuk mengambil satu ember air. Â