Malam belum larut ketika pipi saya serasa ditampar keras-keras. Sebuah artikel di Kompasiana gara-garanya. Biasanya saya tidak reaktif, tetapi kali ini kontan hati saya kram berasa terpukul benda tumpul. Apalagi artikel itu dipamerkan oleh Admin Kompasiana di Twitter.
Ponakan Prabowo: Mungkinkah Karir Politiknya akan Semulus Pahanya? Begitu judul artikel beraroma pelecehan itu. Adalah rekan Kompasianer Toto Priyono yang menganggitnya. Semula saya pikir para Admin K tengah abai sehingga mencantumkan label "Pilihan" pada artikel tersebut.
Ndilalah, malah terpajang megah di Twitter. Boro-boro lalai, Admin K malah sengaja menyulut bensin ke tengah kobaran api. Tidak heran jika cuitan itu langsung dilahap netizen. Patut dicamkan, pengikut akun Kompasianan di Twitter bukan cuma Kompasianer. Patut diingat, bukan cuma Kompasianer yang bisa membaca artikel-artikel di Kompasiana.
Tidak. Tidak. Saya tidak marah. Sama sekali tidak. Saya hanya salah seorang penghuni apartemen wah bernama Kompasiana. Meski begitu, saya terenyuh melihat Admin Kompasiana sedemikian lalai sampai meloloskan artikel berbau seksis itu.
Bukan. Bukan. Saya bukan seorang polisi moral. Sama sekali bukan. Moral saya juga tidak bagus-bagus amat. Akan tetapi, membaca judul artikel tersebut sungguh menyiksa batin saya. Apartemen megah ini bisa oleng lantaran salah satu penghuninya mendadak gaduh sehingga mengusik orang sedukuh.
Selain itu, Pak Jakob belum seminggu mangkat. Makam beliau masih merah. Bunga-bunga di pusara juga masih harum. Belum surut pula ungkapan belasungkawa atas berpulangnya beliau. Bahkan opini dan puisi Kompasianer masih terus mengalir. Itu bukti cinta kepada beliau.
Namun, salah satu karya beliau yang tengah saya tempati pula kini mengguncang ketenangan beliau. Kompasiana. Apartemen mewah ini, dengan penghuni bejibun, sontak menjadi sorotan. Bukan karena acungan jempol, melainkan lantaran cibiran. Tolong jangan bikin beliau menangis di sana.
Apakah tidak ada artikel lain lagi di Kompasiana yang layak berlabel "Pilihan"? Bagaimanapun, pilihan adalah hasil dari perbuatan memilih. Dari sekian banyak artikel yang tayang, Admin memilih mana yang patut dan tidak untuk dilabeli pilihan. Mestinya pelabelan sekaligus merupakan kegiatan verifikasi.
Apakah tidak ada artikel lagi di Kompasiana yang patut dipromosikan di Twitter? Bagaimanapun, media sosial adalah ruang publik. Memajang artikel itu di Twitter tiada berbeda dengan mengundang semua orang untuk beramai-ramai berkunjung ke Kompasiana dan melahap artikel tersebut.
Hanya saja, nasi sudah menjadi bubur. Kepalang jadi bubur, sekalian saja kita tambahkan daging ayam, kacang, dan sambal. Bagaimana caranya? Ubah judul. O ya, judul sudah berubah. Judulnya sudah diubah menjadi "Karier Politik Rahayu Saraswati".
Bagaimana dengan isinya? Hingga tulisan ini tayang isi artikel belum disunting oleh penulisnya. Bagian yang penuh aroma kekerasan seksual masih ada dan tidak disunting oleh penulis. Boleh saja penulis bersembunyi di balik dalih "semakin tenar", tetapi aroma kekerasan seksual itu masih sengit.
Saya petikkan satu paragraf dengan mempertahankan tajaan aslinya.
Maka lantaran kasus paha mulus tersebut nama Rahayu Saraswati semakin tenar di media. Bahkan menjadi pembicaraan public yang tidak ada habisnya mewarani pilkada 2020 di jagad media baik konvensional maupun media sosial.