Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anjay dan Kekerasan Anak: Kepada Lutfi Agizal

5 September 2020   04:16 Diperbarui: 6 September 2020   06:00 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai tambahan referensi, KPAI melalui bank data kekerasan pada anak menunjukkan bahwa pada 2011 tercatat 416 kasus kekerasan anak dalam klaster keluarga dan pengasuhan alternatif. Angka kasus melonjak hingga 633 (2012), 931 (2013), 921 (2014), 822 (2015), dan 571 kasus pada 2016.

Sekarang simaklah data Kementerian PPPA sebagaimana diunggah oleh Kompas.com.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Apakah dampak yang bakal dialami oleh korban tindakan kekerasan terhadap anak?

Sebagai alumnus psikologi, saya kira kamu jauh lebih paham dibanding saya. Tugas saya hanya menyajikan data, Lutfi, sisanya saya serahkan kepadamu. Kenapa? Kamu jelas jauh lebih fasih dalam perkara mengampanyekan, menguarkan, dan melantangkan satu persoalan. Kasus anjay saya jadikan sebagai tumpuan argumen.

Kedua, bebaskan anak-anak Indonesia dari penjara ketimpangan. Sebanyak 3 (tiga) dari 10 (sepuluh) anak dengan difabel atau disabilitas di Indonesia tidak pernah mengenyam pendidikan. Begitulah data hasil Survei Ekonomi Nasional 2018.

Saat ini, Lutfi, saya petik dari data UNICEF Indonesia, sebanyak 140.000 anak dengan difabel pada rentang usia 7 s.d. 18 tahun tidak bersekolah. Jumlah yang tidak sedikit. Fantastis, Lutfi. Jasamu akan terkenang sepanjang masa selama kamu tulus memperjuangkannya.

Belum lagi jika kita berbicara tentang anak-anak di perdesaan yang sangat sukar mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Beberapa waktu lalu, sebelum pandemi korona meneror kita, foto-foto tentang anak yang bergelantungan di jembatan gantung, menyeberangi sungai berarus deras, atau mendaki bukit terjal demi bersekolah amat ramai berseliweran di media sosial.

Pilu kita makin dalam kalau kita sudi melihat anak-anak yang terlempar ke jalanan, dibesarkan oleh alam, diasuh oleh hujan, dan bertahan dari lakon kemis ke sana kemari. Ada lagi anak-anak yang ditunggangi bandar-bandar narkoba, Lutfi. Bahkan, sebuah tayangan di media sosial sempat memamerkan balita yang mabuk berat karena dipaksa menenggak miras oleh kerabatnya.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Banyak benar yang ingin saya sampaikan kepadamu, Lutfi, tetapi ruang membatasi kita. Padahal, kata-kata di kepala saya berebutan hendak meloncat ke dalam surat asal-asalan ini. Untung ada batasan jumlah karakter yang menahan gelepar dan geletar kata-kata itu.

Saya sampaikan hal ini kepadamu karena saya melihat kemampuanmu dalam menggerakkan rekan-rekan di Komnas PA. Bayangkan, Lutfi, sekali mengadu saja sudah bikin Komnas PA sebegitu gesit merilis uar-uar tentang pelarangan kata anjay. Mana tahu, Lutfi, tuahmu masih tajam.

Terima kasih atas perjuanganmu, Lutfi. O ya, tolong luangkan waktumu untuk membaca Pohon Kata Bernama Anjing. Biar kamu tahu mengapa saya tekankan pentingnya mengampanyekan penghentian kekerasan anak, alih-alih memperjuangkan pelarangan kata anjay dan sanak kerabatnya. Sehat-sehat selalu, Lutfi, baik jiwa maupun ragamu.

Salam takzim. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun