Saya memohon dengan sangat, dari hati yang terdalam, kiranya saudara Lutfi Agizal sudi menyuguhi saya data anak yang menderita gara-gara dirisak dengan kata anjay, anjir, dan anjrit. Kalau bisa sumber data jelas, akurat, dan dapat dipercaya kesahihannya.
Saudara Lutfi yang arif. Terus terang saja, saya kagum atas keberanianmu mengambil sikap berbeda, unik, dan ganjil dalam memperjuangkan moral anak bangsa. Itu visi yang luhur, agung, dan mulia. Ya, khusus untuk memperjuangkan moral anak bangsa saya berani mengangkat dua jempol tangan.
Akan tetapi, saudara Lutfi, saya kaget melihat kamu mendadak plinplan. Saya melihat kamu seperti berjuang setengah hati. Plintat-plintut. Janjimu lima episode. Eh, baru dua episode berkoar-koar tentang bencana batin akibat gelombang kata anjay, kamu sudah melempem dan loyo bagai kerupuk terkena tempias hujan.
Kauberikan harapan palsu dan sengaja menggantung harapan pemirsa yang masih menunggu tiga episode tersisa, lalu dengan sadis kautarik sendiri laporanmu di KPAI, kemudian secara sepihak kaubiarkan KPAI mengurus sendiri perkara anjay tanpa melibatkan kamu lagi sebagai pelapor. Kamu bandel, Lutfi.Â
Bukan hanya itu, Teman. Kamu pertontonkan gairah menggebu-gebu buat mempermainkan KPAI dan Komnas PA. Dua lembaga--yang saban hari sibuk mengurusi laporan dan aduan tentang kekerasan pada anak--mendadak harus mengurus laporan brilianmu. Kamu laksana pacar yang sengaja berpura-pura cinta, padahal anjay.
Saudara Lutfi yang peduli pada masa depan anak bangsa. Saya ingin mendaftar sebagai sukarelawan andaikan kamu mengubah haluan gerakan, arah perjuangan, dan tujuan aksi. Saya siap berdiri di mana saja yang engkau pinta, baik di depan maupun di belakang, asal engkau sudi memperjuangkan hal berikut.

Pertama, keluarkan anak-anak Indonesia dari belitan kekerasan. Begini, Lutfi. Sebagai seorang pemerhati masa depan bangsa, saya yakin bahwa kamu punya data yang memadai tentang efek atau dampak psikologis kekerasan terhadap pertumbuhan mental anak-anak Indonesia.
Jika kita mengacu pada data yang dilansir oleh UNICEF Indonesia, Lutfi, sepertiga penduduk Indonesia itu anak-anak. Jumlahnya setara dengan 85 juta jiwa. Bayangkan betapa heroiknya jika yang kamu perjuangkan adalah menyerukan penghentian kekerasan pada anak. Namamu akan dikenang sebagai pembela hak anak Indonesia, bukan pejuang pelarangan kata anjay.
Anjay itu, Lutfi, mirip dengan noda kecil di tengah kain putih bersih yang berukuran selapangan sepak bola. Kecil sekali, karena anjay hanya kepingan kecil dari kekerasan lisan; kekerasan lisan hanya sempalan cetek dari kekerasan emosional; dan kekerasan emosional, Lutfi, hanya satu dari lima jenis kekerasan pada anak.
Maka dari itu, Kawan, kadung basah mending sekalian mandi. Jika kamu berniat menangkap ikan kakap dan berpotensi mendapatkannya, seyogianya kausetop meraup teri. Ambil kakap itu, Lutfi. Tanggung itu tidak nikmat, Lutfi, sekalian saja kamu edukasi generasi harapan bangsa dengan isu besar bernama kekerasan anak. Isu yang terus mengusik lelap tidur bangsa bernama Indonesia ini.
Ada lima medan juang yang bisa kamu masuki, Lutfi. Bentengmu sudah siap: Moral Bangsa. Meriam dan senapan, bernama data dan fakta, tinggal pulung di sana-sini. Sekali kamu bergerak dengan niat tanpa pamrih pansos, saya percaya akan banyak orang yang sudi mendukung aksimu.
Berikut saya sajikan lima medan juang melawan kekerasan pada anak, Sobat, yang mengacu pada Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child, 1989).

Kamu tinggal memilih mau bermain di arena mana. Bisa di kawasan kekerasan fisik, emosional, eksploitasi, seksual, dan pengabaian. Sekiranya bisa, sekalian masuki lima gelanggang itu. Seandainya sukar, cukup ambil satu jalur juang yang menurutmu lebih lekas diwujudkan.
Saudara Lutfi yang baik hati. Andai saja kamu sudi meluangkan sejenak waktumu untuk mengulik data tentang kekerasan pada anak, kamu pasti akan berpikir panjang untuk menyeret kata anjrit dan anjir di siniar (podcast) Om Deddy Corbuzier.
Sebagai serdadu garda depan "bahasa menunjukkan bangsa", saya percaya bahwa kamu pasti lebih senang memakai kata siniar dibanding podcast. Sekalipun saya pernah melihat, dalam satu tayangan di kanal YouTube-mu, kamu terpeleset memakai kata habit alih-alih kebiasaan.Â
Tidak apa-apa, Lutfi, sekali terpeleset itu sangat manusiawi. Dua kali terpeleset di tempat yang sama pun masih manusiawi, tetapi kalah cerdik dibanding keledai. Hehehe. Keledai, syahdan, tidak pernah mau terpeleset atau terjatuh di tempat atau lubang yang sama.
Netizen juga meledek kamu habis-habisan karena mereka menemukan jejak digitalmu yang mengatakan "njing". Sepandai-pandai Lutfi melompat, jatuhnya ke njing juga. Namun, tidak perlu khawatir. Meskipun jejak digital kejam, setidaknya kamu tunjukkan kepada warganet bahwa kamu sudah hijrah dari pengguna kata kasar menuju pelarang kata makian.
Saudara Lutfi, ini ada secubit kabar penting. Know Violence in Childhood dalam laporannya, Ending Violence in Chilhood: Global Report 2017, menyatakan bahwa 73,7% anak Indonesia berumur 1--14 tahun mengalami agresi psikologis atau pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline). Atas nama "menurut pada orangtua" serta "demi penegakan disiplin", anak-anak didera hukuman fisik di rumah.
Sementara itu, Lutfi, KPAI menyatakan bahwa angka kekerasan seksual pada anak di sekolah sangat mencemaskan. Sebagaimana dilansir Lokadata, pada rentang Januari hingga Oktober 2019 KPAI mencatat 17 kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Di mana, Lutfi? Di sekolah. Itu jelas mengerikan. Itu menyangkut moral anak bangsa. Alangkah!
Jumlah korbannya pun tidak tanggung-tanggung, yakni 89 anak. Jika kamu, Lutfi, bersuara keras demi mengampanyekan penghentian kekerasan terhadap anak, itu berarti kamu telah melakukan gerakan simpatik atas nasib tragis 55 perempuan dan 34 laki-laki korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan pada tahun lalu.
Tunggu, Lutfi, ada yang penting kita camkan. Dari 17 kasus yang tercatat itu, 22% dilakukan oleh kepala sekolah dan 88% dilakukan oleh guru. Sebanyak 2 (dua) kasus terjadi di sekolah menengah atas, 4 kasus di sekolah menengah pertama, dan 11 kasus terjadi di sekolah dasar. Tunggu apa lagi, Lutfi? Ayo, berangkat!
Sungguh, Lutfi, itu modal besar dalam menegakkan moral bangsa. Bagaimana jika korban mengalami trauma mendalam, terkena psikosomatik, dan setelah besar melakukan kekerasan serupa sebagai upaya mengatrol rasa percaya diri sekaligus membalas dendam masa kecil? Gila, Lut, saya pikir itu sangat mengerikan!
Sebagai tambahan referensi, KPAI melalui bank data kekerasan pada anak menunjukkan bahwa pada 2011 tercatat 416 kasus kekerasan anak dalam klaster keluarga dan pengasuhan alternatif. Angka kasus melonjak hingga 633 (2012), 931 (2013), 921 (2014), 822 (2015), dan 571 kasus pada 2016.
Sekarang simaklah data Kementerian PPPA sebagaimana diunggah oleh Kompas.com.

Sebagai alumnus psikologi, saya kira kamu jauh lebih paham dibanding saya. Tugas saya hanya menyajikan data, Lutfi, sisanya saya serahkan kepadamu. Kenapa? Kamu jelas jauh lebih fasih dalam perkara mengampanyekan, menguarkan, dan melantangkan satu persoalan. Kasus anjay saya jadikan sebagai tumpuan argumen.
Kedua, bebaskan anak-anak Indonesia dari penjara ketimpangan. Sebanyak 3 (tiga) dari 10 (sepuluh) anak dengan difabel atau disabilitas di Indonesia tidak pernah mengenyam pendidikan. Begitulah data hasil Survei Ekonomi Nasional 2018.
Saat ini, Lutfi, saya petik dari data UNICEF Indonesia, sebanyak 140.000 anak dengan difabel pada rentang usia 7 s.d. 18 tahun tidak bersekolah. Jumlah yang tidak sedikit. Fantastis, Lutfi. Jasamu akan terkenang sepanjang masa selama kamu tulus memperjuangkannya.
Belum lagi jika kita berbicara tentang anak-anak di perdesaan yang sangat sukar mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Beberapa waktu lalu, sebelum pandemi korona meneror kita, foto-foto tentang anak yang bergelantungan di jembatan gantung, menyeberangi sungai berarus deras, atau mendaki bukit terjal demi bersekolah amat ramai berseliweran di media sosial.
Pilu kita makin dalam kalau kita sudi melihat anak-anak yang terlempar ke jalanan, dibesarkan oleh alam, diasuh oleh hujan, dan bertahan dari lakon kemis ke sana kemari. Ada lagi anak-anak yang ditunggangi bandar-bandar narkoba, Lutfi. Bahkan, sebuah tayangan di media sosial sempat memamerkan balita yang mabuk berat karena dipaksa menenggak miras oleh kerabatnya.

Saya sampaikan hal ini kepadamu karena saya melihat kemampuanmu dalam menggerakkan rekan-rekan di Komnas PA. Bayangkan, Lutfi, sekali mengadu saja sudah bikin Komnas PA sebegitu gesit merilis uar-uar tentang pelarangan kata anjay. Mana tahu, Lutfi, tuahmu masih tajam.
Terima kasih atas perjuanganmu, Lutfi. O ya, tolong luangkan waktumu untuk membaca Pohon Kata Bernama Anjing. Biar kamu tahu mengapa saya tekankan pentingnya mengampanyekan penghentian kekerasan anak, alih-alih memperjuangkan pelarangan kata anjay dan sanak kerabatnya. Sehat-sehat selalu, Lutfi, baik jiwa maupun ragamu.
Salam takzim. [kp]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI