Berikut saya sajikan lima medan juang melawan kekerasan pada anak, Sobat, yang mengacu pada Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child, 1989).
Kamu tinggal memilih mau bermain di arena mana. Bisa di kawasan kekerasan fisik, emosional, eksploitasi, seksual, dan pengabaian. Sekiranya bisa, sekalian masuki lima gelanggang itu. Seandainya sukar, cukup ambil satu jalur juang yang menurutmu lebih lekas diwujudkan.
Saudara Lutfi yang baik hati. Andai saja kamu sudi meluangkan sejenak waktumu untuk mengulik data tentang kekerasan pada anak, kamu pasti akan berpikir panjang untuk menyeret kata anjrit dan anjir di siniar (podcast) Om Deddy Corbuzier.
Sebagai serdadu garda depan "bahasa menunjukkan bangsa", saya percaya bahwa kamu pasti lebih senang memakai kata siniar dibanding podcast. Sekalipun saya pernah melihat, dalam satu tayangan di kanal YouTube-mu, kamu terpeleset memakai kata habit alih-alih kebiasaan.Â
Tidak apa-apa, Lutfi, sekali terpeleset itu sangat manusiawi. Dua kali terpeleset di tempat yang sama pun masih manusiawi, tetapi kalah cerdik dibanding keledai. Hehehe. Keledai, syahdan, tidak pernah mau terpeleset atau terjatuh di tempat atau lubang yang sama.
Netizen juga meledek kamu habis-habisan karena mereka menemukan jejak digitalmu yang mengatakan "njing". Sepandai-pandai Lutfi melompat, jatuhnya ke njing juga. Namun, tidak perlu khawatir. Meskipun jejak digital kejam, setidaknya kamu tunjukkan kepada warganet bahwa kamu sudah hijrah dari pengguna kata kasar menuju pelarang kata makian.
Saudara Lutfi, ini ada secubit kabar penting. Know Violence in Childhood dalam laporannya, Ending Violence in Chilhood: Global Report 2017, menyatakan bahwa 73,7% anak Indonesia berumur 1--14 tahun mengalami agresi psikologis atau pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline). Atas nama "menurut pada orangtua" serta "demi penegakan disiplin", anak-anak didera hukuman fisik di rumah.
Sementara itu, Lutfi, KPAI menyatakan bahwa angka kekerasan seksual pada anak di sekolah sangat mencemaskan. Sebagaimana dilansir Lokadata, pada rentang Januari hingga Oktober 2019 KPAI mencatat 17 kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Di mana, Lutfi? Di sekolah. Itu jelas mengerikan. Itu menyangkut moral anak bangsa. Alangkah!
Jumlah korbannya pun tidak tanggung-tanggung, yakni 89 anak. Jika kamu, Lutfi, bersuara keras demi mengampanyekan penghentian kekerasan terhadap anak, itu berarti kamu telah melakukan gerakan simpatik atas nasib tragis 55 perempuan dan 34 laki-laki korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan pada tahun lalu.
Tunggu, Lutfi, ada yang penting kita camkan. Dari 17 kasus yang tercatat itu, 22% dilakukan oleh kepala sekolah dan 88% dilakukan oleh guru. Sebanyak 2 (dua) kasus terjadi di sekolah menengah atas, 4 kasus di sekolah menengah pertama, dan 11 kasus terjadi di sekolah dasar. Tunggu apa lagi, Lutfi? Ayo, berangkat!
Sungguh, Lutfi, itu modal besar dalam menegakkan moral bangsa. Bagaimana jika korban mengalami trauma mendalam, terkena psikosomatik, dan setelah besar melakukan kekerasan serupa sebagai upaya mengatrol rasa percaya diri sekaligus membalas dendam masa kecil? Gila, Lut, saya pikir itu sangat mengerikan!