Poltak, perantau dari Medan yang terdampar di kaki Gunung Suram, tidak henti-hentinya menggeleng-geleng. Tampak benar ada sesuatu yang memberati kepalanya. Entah utang negara entah ekonomi yang melorot hingga angka minus lima.
"Bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, serta tidak menjaga dan meningkatkan moralitas, nilai-nilai agama, dan jati diri bangsa."
Bahana tawa memenuhi kamar kosan. Acok, perantau dari Makassar yang tersesat di kaki Gunung Suram, terbahak-bahak mendengar orasi Poltak. Air liur sampai menetes dan membasahi cambang lebatnya. "Ndak usah niru-niru mahasiswa sedang orasi. Lagakmu!"
"Bukan omonganku itu," sanggah Poltak sambil menepak lengan Acok, "itu judicial review yang diajukan oleh ROTI kepada Mahkamah Konstitusi. Ndakik-ndakik. Sengaja dipanjang-panjangkan biar berasa keren."
Acok terbelalak dan lekas-lekas bertanya, "Rempeyek Olah Televisi Indah?" Begitu melihat anggukan Poltak, Acok terbahak-bahak lagi. "Seperti jawaban soal PPKn yang harus memuat Pancasila, UUD 1945, moralitas, nilai-nilai agama, dan jati diri bangsa."
Giliran Poltak yang terpingkal-pingkal hingga air mata bikin hangat pipinya. Ia memang lelaki bertubuh tegap yang sangat jarang menuangkan air mata. Sewaktu dibentak-bentak pemilik kosan karena tiga bulan telat setor bayaran saja ia masih menubuhkan tabah dan menabahkan tubuh.
Hari ini ia datang menemui Acok, sahabatnya yang setiap hari bekerja sebagai kuli penggilingan padi. Ia sendiri buruh tani yang belakangan, semenjak pandemi korona menguasai negara, sering nirorder atau kehilangan pesanan. Ia datang membawa serantang gelisah akibat ulah sebuah stasiun teve.
"Kamu harus tahu alasan ROTI, Daeng," ujar Poltak dengan mimik diserius-seriuskan, kening dikerut-kerutkan, dan meengelus-elus janggut Pancasila alias jenggot yang hanya terdiri atas lima helai. "Itu telepisi menuntut dengan alasan demi menjaga moral bangsa."
"Tunggu, Bang, rasa-rasanya ada yang aneh!" Acok memegangi perutnya yang setanding dengan mamah muda sedang hamil enam bulan. "Aku kaget. Terkejut alang kepalang. Terperangah. Malah, terjelengar. Sejak kapan ROTI menjadi polisi moral?"
Mata Poltak memelotot. "Tampaknya aku saja yang salah persepsi. Ya, aku doang. Dulu aku kira ROTI sebatas takut dilibas konten kreator personal. Rating ambrol, iklan seret. Mereka ingin membatasi kreativitas orang lain. Lo, kan artis-artis yang getol ngeyutup itu juga tampil di acara-acara tipi?"
"Betul," timpal Acok tidak kalah sengit. "Bukan salah arti-artis transmigran, dong. Siapa suruh ROTI dan stasiun teve lain memakai tenaga mereka untuk syuting program. Pandemi datang, program dibungkus. Padahal, artis butuh makan. Mereka bikin konten yutub. Bukan salah artis, dong!"
Acok membelai-belai cambang mukadimah undang-undangnya alias berewok yang jumlah helainya sama dengan jumlah bintang di langit: sama-sama susah dihitung. "Tunggu, Bang, tunggu dulu. Kenapa harus bawa-bawa menjaga moral bangsa? Fakir ide sekali dalam mencari dalih."
Otak Poltak seketika memampang rupa-rupa tayangan tanda tanya. Apakah tentara berbaju dinas lengkap yang disuruh makan donat dari tali yang diikatkan di kaki orang lain merupakan sesuatu yang bermoral? Poltak geleng-geleng kepala.
Terjadi dialog di dalam batinnya. Halo. Apa kabar sinetron ugal-ugalan? Tetangga saya sampai misuh-misuh tiap hari, pagi petang mengomeli anaknya yang doyan menonton sinetron itu. Sekarang tingkah anaknya yang masih remaja tanggung sudah sangat halu. Maunya tarikan atau balapan melulu, padahal menaikkan motor ke garasi dari teras rumah menanjak saja masih gagap dan gugup.
Acok juga mendadak sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia belum juga menemukan argumentasi jitu agar ia bisa memaklumi alasan "menjaga moral bangsa". Sependek ingatannya, tidak banyak acara di ROTI yang menjunjung tinggi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengandung nilai-nilai agama.
Tanpa sadar ia menggerunyam. "Setahu aku, ndak banyak acara ROTI yang beraroma agama. Bahkan bulan Ramadan saja ROTI cuma menayangkan acara lomba menghafal Quran atau tarung dai cilik. Paling-paling ditambah kultum alias kuliah tujuh menit. Hari-hari biasa rasanya ndak ada."
"Kata siapa?" Poltak buru-buru menyela, "ROTI itu stasiun tipi yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Tiap petang pasti menyiarkan azan Magrib. Itu pun dengan lagu dan suara yang tidak berubah dari aku masih di tanah Batak!"
"Maafkan aku karena aku sempat berburuk sangka kepadamu, ROTI." Acok menghela napas. "Semula kupikir, ROTI tidak mau kehilangan penonton. Jadi, bisalah dimaklumi apabila RCTI ngoyo mengajukan judicial review. Ternyata alasannya keren. Atas nama menjaga moral bangsa."
Poltak menyentak, "Begini, Acok. Cerdaslah kau barang seupil. Apa yang akan ditonton oleh pemirsa dari sinetron yang tayang setiap hari dengan episode berlarut-larut? Bahkan ada sinetron yang episodenya melebihi panjang Nusantara dari Sabang sampai Merauke?"
Acok terkakak-kakak lagi. "Itu betul, Bang. Bahkan ada sinetron yang tokoh utamanya sudah modar terus hidup lagi. Alasannya, beberapa episode yang lalu itu hanya mati suri. Penontonlah yang salah karena mengira protagonis sudah mati."
"Ada yang lebih parah, Daeng," timpal Poltak dengan napas terengah-engah karena menahan tawa, "ketika tokoh utama tewas, kupikir tamat sudah riwayat sinetron itu. Tahu-tahu anak tokoh utama naik derajat menjadi tokoh utama. Sekarang cucunya jadi calon pewaris tokoh utama. Gilak!"
"Pantas sinetron kita kalah saing melawan drakor, film seri India, atau telenovela dari Amerika Latin," ujar Acok bersungut-sungut.
Tiba-tiba terdengar ketukan. Acok setengah berteriak, "Ndak dikunci."
Ketika pintu menganga, wajah Profesor Fair si Petani Picisan dan Om Gerah si Penulis Recehan menyembul di celah daun pintu. Mereka kompak mengecrek-ngecrek ketika melihat gaya rebahan Poltak dan Acok di atas kasur yang kapuknya mengintip di beberapa sobekan.
Profesor Fair membuka pintu lebar-lebar dan duduk di samping Poltak. Sambil mengasongkan sebatang rokok keretek, ia berkata, "Poltak, kaucangkul dulu ladang masa laluku. Aku ingin menanam masa depan yang lebih pasti di sana. Bosan aku ongkang-ongkang kaki di rumah."
Acok mendongak dan menatap Om Gerah yang berdiri di dinding kamar sambil bersidekap tangan. Ia seperti ingin mendengar perintah yang dapat menjaga kesinambungan isi dompetnya agar bisa terus menyubsidi Warung Sunda Mang Engkos.
"Pertamina rugi sebelas triliun," kata Om Gerah dengan mata setengah memejam. Ia sama sekali tidak memberitahukan apa hubungan antara Acok dengan Pertamina, sekalipun Acok akhirnya tahu bahwa bahan bakar mesin penggilingan padi milik Om Gerah digerakkan oleh BBM dari Pertamina.
"Bubarkan saja Pertamina kalau rugi terus," timpal Acok kesal. "BUMN itu setor uang ke kas negara, bukan terus disuntik dana setiap tahun. Kalau usaha rugi melulu, rakyat-rakyat juga yang kasihan."
Profesor Fair mendeham. "Namamu Acok, bukan Ahok."
"Ahok tidak punya kuasa membubarkan perusahaan pelat merah, Acok," seru Poltak bagai mendapat durian runtuh, "ada modal negara di setiap perusahaan pelat merah. Itu bukan perusahan milik nenek moyang Ahok atau Acok!"
Kamar seketika diriuhi tawa, dipenuhi asap rokok keretek, dan disemaraki bau ketiak yang tersebar entah dari ketek siapa. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H