Marka syarat keinginan dan tuntutan juga harus dibeberkan secara terbuka. Kemampuan menjalin komunikasi, misalnya, sebaiknya masuk dalam tuntutan yang harus dipenuhi. Sekian keterikatan dari satu kicauan atau unggahan, misalnya, dapat juga dijadikan indikator. Itu baru dua syarat dari lima kondite yang diajukan oleh Kotler dan Keller.Â
Bagaimana dengan influencer yang disewa oleh Pemerintah?Â
Tentu para pemesan yang tahu kinerja, talenta, dan kredibilitas orang-orang yang mereka upah. Satu contoh kasus, seperti yang disajikan oleh ICW lewat akun YouTube-nya, seorang Youtuber diupah sampai ratusan juta untuk sekali unggahan. Adakah pesan yang ingin disampaikan kepada publik telah dikomunikasikan dengan baik oleh buzzer?Â
Ingat, ratusan juta itu bukan uang sedikit. Banyak rakyat yang bisa makan enak dari uang sebanyak itu.
Pemerintah juga tidak boleh sungkan-sungkan memantau dan mengevaluasi kinerja upahan. Jangan main lepas tangan, apalagi silau mata karena nama besar buzzer. Apabila hasil pekerjaan tidak sesuai dengan target, tentu harus ada konsekuensi yang mesti ditanggung oleh influencer.
Bagaimanapun, uang yang digunakan untuk mengupah para pendengung berasal dari saku rakyat. Nahas rasanya jika Pemerintah mengupah orang yang justru lihai dan piawai mengelola kebohongan dan kebodohan sebagai bahan bualan, sebab yang dipromosikan adalah program Pemerintah.
Jika Pemerintah salah pesan sosok buzzer berarti Pemerintah turut serta mencederai esensi, fungsi, dan demokrasi digital. Dengan kata lain, jangan sampai Pemerintah ikut membiayai praktik kampanye kotor yang dipenuhi perdebatan dangkal dan pertukaran makian.
Itu tidak boleh terjadi. Sangat tidak boleh terjadi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H