24 Februari 1966. Mahasiswa berunjuk rasa di depan Istana Negara. Resimen Pelopor, Divisi Siliwangi, dan Pasukan Tjakra menahan laju demonstran. Tritura kembali berkumandang. Udara panas membara. Sebutir peluru menembus jaket kuning Arif Rahman Hakim.
Di dalam Istana Negara, Kabinet Dwikora sedang menggelar rapat. Di depan Istana Negara, KAMI tetap bertahan merapat.
Din Syamsuddin. Nama yang sangat populer di kalangan masyarakat, terutama kader dan simpatisan Muhammadiyah. Nama yang sangat tenar di kalangan tokoh agama, terutama anggota dan pengurus Majelis Ulama Indonesia. Pendek kata, nama beliau mudah ditemukan apabila kita bertanya kepada Engkong Gugel.
Tentu saja menggembirakan tatkala melihat sekelompok orang bersatu untuk gerakan mulia, yakni hendak menyelamatkan Indonesia. Itu bukan pekerjaan enteng. Namun, seberat apa pun tetap saja Din Syamsuddin dan geng enggan menyerah. Bagi mereka, menyelamatkan Indonesia adalah pekerjaan yang mulia. Tentu kita (lawan kata "kami") juga memuliakan kerja-kerja penyelamatan bangsa.
Berserikat dan berkumpul adalah hak asasi setiap manusia. Jangankan mahaguru, mahasiswa pun tahu akan hal itu. Tanpa menutup mata, sekarang siapa saja mudah dijorongkan ke dalam penjara hanya karena perbedaan pendapat. Bahkan ada satu organisasi di Indonesia yang amanat utamanya adalah melaporkan siapa saja yang "keseleo jari" di Twitter atau "terpeleset lidah" di YouTube.
Jika kita sudi berlapang dada, jelas terpampang alangkah luhur cita-cita KAMI. Jika KAMI versi Arif Rahman Hakim dan kolega memperjuangkan runtuhnya Orde Lama, KAMI versi Din Syamsuddin dan sejawat memperjuangkan penyelamatan Indonesia. Nama sama, wajah berbeda. Nama sama, usia berbeda.
"KAMI adalah gerakan moral rakyat Indonesia dari berbagai elemen dan komponen yang berjuang bagi tegaknya kedaulatan negara, terciptanya kesejahteraan rakyat, dan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Seperti geliat KAMI era Arif Rahman Hakim dan rekan yang serta-merta diikuti lahirnya kesatuan aksi yang lain, KAMI versi Din Syamsuddin dan konco juga bernasib serupa. Ada bedanya. KAMI yang dulu diikuti aksi pendukung, KAMI yang sekarang diikuti aksi petanding.
Adalah mantan relawan Jokowi yang bergerak serempak dan sangat mendadak. Mereka mendirikan KITA, sekali lagi ini antonim KAMI. Syahdan, KITA adalah Kerapatan Indonesia Tanah Air. Singkatan yang agak mengada-ada atau dipaksa-paksa. Tidak apa-apa. Negara kita melindungi hak berpendapat. Itu sah-sah saja.
Dahsyatnya, tujuan pendeklarasian KITA sehari setelah pendeklarasian KAMI juga sangat megah. Setali tiga uang atau sebelas-dua belas dengan Jatidiri KAMI. Benar-benar petanding yang setanding. Netizen yang bijak bestari silakan menyaksikan tarung kata di panggung gerakan unik.
"Kita adalah koalisi independen yang menyemai, mengembangkan, dan melestarikan Tanah Air Indonesia sebagai bagian dari diri, identitas, dan masa depan bersama. KITA bergerak politik kesadaran."
Kira-kira begitulah visi yang dituju dan ditaja oleh KITA. Cita-cita yang agung. Tentu saja kita, dengan huruf kecil saja, juga ingin senantiasa menyemai, mengembangkan, dan melestarikan Tanah Air Indonesia. Garuda di dada, begitu nyanyian hati pendukung Tim Nasional Indonesia.