Netizen di media sosial memang jago dalam perkara memasyhurkan sesuatu. Ada saja konten yang digoreng sedemikian rupa sehingga banyak warganet yang turut menyumbang suara atas yang diriuhkan itu.
Kali ini giliran logo Hari Ulang Tahun ke-75 Republik Indonesia. Semua bermula dari kritik pedas yang dilontarkan oleh ormas Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS). Seperti gaung di tepi jurang, perkara "mirip salib" sontak sambung-menyambung tak henti-henti. Aa Gym turut menimpali. Tengku Zul turut mengomentari. Ramai. Riuh. Gaduh.
Tokoh agama dan tokoh politik ikut-ikutan berkomentar. Tokoh pemuda hingga tokoh masyarakat turut bersuara. Yang setengah tokoh atau yang merasa dirinya setengah tokoh juga bersuara. Yang bukan tokoh atau merasa dirinya memang bukan tokoh ternyata ada juga yang bernyanyi.Â
Ada yang menanggapi setengah berkelakar, ada yang sungguh sangat serius. Simbol seketika menyita perhatian warganet. Kehadiran logo itu mendadak seperti sebutir gula yang sontak memaksa sekawanan semut datang berkerumun.
Saya sendiri merasa sedikit geli sekaligus agak risih. Bayangkan saja, betapa repotnya saya apabila saya mesti menghindari atau menjauhi atau memusuhi semua benda, entah gambar entah suasana, yang pola atau modelnya mirip salib.
Ketika melintas di perempatan, menyitir ucapan salah seorang tokoh dari Istana Negara, saya harus menggerunyam karena pada titik tertentu harus diakui bahwa perempatan mengandung kemiripan dengan salib. Saya terpaksa harus berputar-putar mencari pertigaan atau peduaan atau persatuan.
Akan tetapi, pernyataan Roy sangat menyentak dan mengagetkan saya. Maaf, kamu pasti tidak mengenal Roy. Ia tetangga saya. Rumahnya hanya berselang tiga rumah dari tempat saya. Kami sama-sama penggemar kopi liong Kang Mamat.
"Salib itu simbol yang suci bagi kami, Daeng," kata Roy setengah tertawa, "enggak ada gunanya ditakuti. Biasanya setan yang takut pada salib."
Sekilas pernyataan Roy lebih mirip seloroh dibanding gerunyam. Namun, umat muslim mestinya menimbang-nimbang juga perasaan umat kristiani. Jika setiap ada sesuatu yang mirip, punya, atau mengandung kemiripan dengan salib dan kita menakutinya, bagaimana jadinya perasaan saudara-saudara kita?
Lebih dalam lagi, Roy sebenarnya tengah "menyindir secara halus" kadar keimanan umat yang kerap mempersoalkan sesuatu yang "ditengarai" mengandung simbol salib. Jangan ingat, simbol hanya perlambang. Meskipun sebatas perlambang, setiap simbol memiliki sakralitas masing-masing. Salib, misalnya, merupakan "pintu cinta" sebelum melakukan sesuatu.
Meski sempat kesal karena salib lagi-lagi "dipersalahkan", Roy sama sekali tidak menyamaratakan bahwa semua umat Muhammad beranggapan seperti. Saya di antaranya. Mau ada seribu lambang dalam logo yang mirip dengan salib pun bukan suatu masalah bagi saya.
Mari kita berandai-andai dulu. Andaikan kita seorang nonmuslim. Bisa Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, atau Kong Hu Cu. Apakah iman kenonmusliman kita akan merintih atau mengerang setiap mendengar azan berkumandang? Apakah iman kenonmusliman kita bakal menurun atau menipis acap kali mendengar suara azan? Tentu saja tidak, sebab keyakinan kita tidak akan goyah hanya karena simbol atau ritual agama lain.
Suatu ketika seseorang bertanya kepada Gus Dur. "Gus, apakah tanda-tanda keras hati?" Gus Dur seperti biasa menjawab dengan gaya yang santai, "Saat melihat gereja kau takut imanmu runtuh, tetapi saat membaca Quran tak sedikit pun hatimu tersentuh."
Jawaban Gus Dur tentang "melihat gereja" bisa kita tukar dengan "melihat salib". Apakah iman umat Islam di Indonesia akan runtuh hanya lantaran melihat ada bagian dalam logo HUT ke-75 Republik Indonesia? Jika ya, tentu mengenaskan sekali. Rasa-rasanya lemah sekali iman kita apabila goyah atau runtuh akibat hal seperti itu.
Mari kita tinggalkan logo HUT ke-75 RI. Ayo kita mundur dulu ke masa kanak-kanak. Baik cowok maupun cewek pasti ingat permainan engklek. Bentuknya juga mirip salib. Untung saudara-saudara kita yang beragama Nasrani tidak ngambek karena salib diinjak-injak oleh bocah yang sedang bermain engklek.
Masuk ke dalam rumah juga mesti berhati-hati. Hampir semua tempat punya sesuatu yang bentuknya mirip salib. Keramik. Rak buku. Ah, ada yang lebih menyesakkan. Jikalau kedua tangan kita rentangkan ke samping maka tergambarlah salib itu. Repot, kan?
Meski begitu, tentu saja semua orang berhak mengeluarkan pendapat. Semua orang. Tanpa kecuali. Jadi, silakan berkata semau atau sekehendak hati. Namun, ada konsekuensi yang harus kita terima. Jika ada orang berbeda pendepat tentu saja harus kita hargai.
Dahsyatnya, media sosial punya banyak orang kreatif yang cekatan membaca situasi. Ada-ada saja ulah netizen. Ketika seorang pemuka agama menyatakan ada "tanda salip" alih-alih menyebut "tanda salib", beberapa logo oret-oretan warganet sontak berseliweran.
Benarkah ada maksud terselubung, ada yang menyebut "menggilas mayoritas", dari penciptaan logo anyar tersebut? Kalau saya yang ditanya maka jawaban saya "lebay". Beda halnya jika yang ditanya adalah pihak yang mengeluarkan pernyataan.
Meski begitu, ada satu perkara yang membuat mata saya benar-benar muram. Ternyata masih ada orang di antara kita yang tidak bisa membedakan antara "salip" dan "salib". Hal serupa sering menimpa kata "sanksi" dan "sangsi".
Ah, sudahlah. Saya tidak berniat menyalip atau menyalib siapa pun. Artikel ini hiburan belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H