Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seniman, Mampus Kalian Dicabik-cabik Pagebluk

6 Agustus 2020   23:45 Diperbarui: 6 Agustus 2020   23:58 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang seniman recehan, Khrisna Pabichara, berpose di depan mural karya Boer Malewa (Foto: IMJ/Dian Pracita)

Tikam jantungku. Tikam waktuku. Tikam duniaku.
M. Adi Tarbiyanto, Doa di Saat Wabah

(1)

Larik pembuka puisi anggitan Adi Tarbiyanto di atas seperti bogem yang menonjok ulu hati. Otot-otot perut saya langsung kontraksi. Urat-urat kesadaran saya kontan meregang. Bagaimana bisa? Judulnya mengandung kata "doa", tetapi doanya seperti seorang penderita putus asa yang berdiri di atas rel kereta api menantang Malaikat Maut.

Tikam jantungku. Pinta si penderita putus asa itu. Kenapa mesti jantung? Karena jantung adalah organ vital yang memompa darah ke sekujur tubuh. Apa akibatnya kalau jantung yang ditikam? Bisa celaka.

Tikam waktuku. Tutur si penderita putus asa. Kenapa mesti waktu? Sebab setiap manusia berada dan beraktivitas dalam kisaran waktu. Jika waktu kita disita oleh sesuatu, pagebluk korona satu contoh saja, habislah daya kreasi dan daya hidup kita. Apa akibatnya kalau kamu tidak punya waktu? Bisa modar.

Tikam duniaku. Raung si penderita putus asa. Kenapa mesti dunia? Sebab di situlah seseorang menunjukkan eksistensi dan mengunjukkan karya. Ketika dunia kita dirampas oleh sesuatu, pagebluk korona lagi yang jadi contoh, buntu semua jalan kreativitas kita. Apa akibatnya kalau dunia kita sudah tiada? Bisa mampus.

Sekarang gantilah "si penderita putus asa" menjadi "si seniman". Begitulah kenyataan yang saat ini terjadi di mana-mana. Seniman kehilangan jantung, waktu, dan dunia. Wabah merampas segalanya. Ruang kreasi hilang, uang segar melayang.

(2)

Jam berderak menyeret luka, yang menganga. Laung Adi pada larik kedua. Diksi "jam" tentu saja mewakili waktu. Akan tetapi, itu jam aneh. Jam yang tidak "berdetak" sebagaimana lazimnya jam lain, tetapi "berderak" ibarat dahan yang mulai rapuh.

Parahnya, jam yang sudah berderak itu masih sanggup menyeret luka. Lebih parah lagi, yang diseret itu ternyata luka yang menganga. Sempurna sudah derita. Ruang berekspresi habis, masih pula "dipaksa wabah" agar bertahan hidup.

Persoalan mendasar bagi seniman adalah mereka bukan pekerja pada umumnya yang punya jam kerja tetap dengan jatah gaji yang pasti. Andai mereka pasti menerima gaji Rp1.500.000,00 per bulan alamat langit dipenuhi emoji tawa. Kenapa? Karena setidaknya bakal mendapat jatah dari Negara sebesar Rp600.000,00. Begitu janji Bu Sri Mulyani dan Pak Erick. 

Nahasnya, rata-rata seniman murni tidak bergaji. Bahkan bergajih pun tidak seberapa, sebab tubuh mereka sebatas tulang yang terbungkus daging dan kulit.

Jika sudah begitu, dengarlah lolongan Adi. Perih berlipat sengsara. Bukan uang terselip di lipatan baju, bukan. Itu sengsara yang tersimpan di balik perih. Pedih membusa luka. Seperti apa rupa busa luka? Seperti nanah. Lendir yang berbau busuk.

Puncak dari segala keperihan dan kepedihan adalah karena "si pagebluk" ini tidak ketahuan bila ia angkat kaki. Jangankan rakyat, Pemerintah saja bingung. Jangankan Pemerintah, "si korona" saja tidak tahu jadwal kepergiannya. Mampus sudah seluruh tubuh seniman karena dicabik-cabik oleh pagebluk.

(3)

Ada anak muda yang nekat mengakhiri hidupnya sebelum pesta pernikahannya digelar. Ada musisi yang menahan tangis saat melego alat musiknya demi bertahan hidup. Setiap orang menanggung beban hidup dengan cara dan daya tahannya masing-masing.

Ada orangtua yang rela menanggung malu saat mencuri ponsel demi membela anaknya agar tetap belajar daring. Ada pengarang yang menahan laju kenangan ketika menjual murah laptop kesayangannya. Setiap orang punya duka masing-masing dan, belum tentu, punya cara terbaik untuk menyembuhkan duka itu.

Tiada ruang, tiada napas. Tidak hanya seniman, semua merasakan sengsara. Tidak hanya musisi, semua orang menjerit. Punggungku telah mati. Patah sudah tulang belakang yang membuat punggung tegak dan tegap menanggung beban. Patah sudah tulang belakang yang menyangga tubuh agar tetap menabung tabah. Ya, punggungku telah mati.

Berita-berita duka cita. Hanya itu yang dipampang media. Selebihnya nyinyir, umpat, dan umpan klik (click bait) menyesatkan. Kabar-kabar suka cita entah digondol apa dan dibawa ke mana. Bagaimana nasib seniman?

Tidak usah ribut-ribut. Seniman sanggup menelan nestapa semudah meneguk ludah. Seniman memilih berteriak lewat karya. Mereka "menyanyikan" lagu-lagu yang tabu atau takut didendangkan orang lain. Mereka "melagukan" keadaan dengan tembang lara yang cukup dipentaskan di kakus.

(4)

Tunggu, masih ada harapan hidup. Loh, memang tidak ada yang bilang bahwa sudah tidak ada harapan hidup. Seniman pasti punya masker "akan indah pada waktunya". Paling tidak tameng wajah bermerek "orang sabar disayang pasangan".

Di mana kami bisa berekspresi lagi? Tidak usah kalian tukas pertanyaan Adi, sebab itu pertanyaan retoris belaka. Adi sendiri, dalam puisi Doa di Saat Wabah, sudah menemukan dan menentukan jawabannya. Di sini. Di sanubari. Adi tahu, selalu terselip kemudahan pada semua kesulitan.

Masalahnya, kapan "Kemudahan" sudi memperlihatkan batang hidungnya? Di sisi lain, puisi tidak mungkin ditukar dengan segantang atau seliter beras. Sehebat apa pun saya dalam urusan membaca puisi, misalnya kalau hebat, saudagar jelas mangkir jika harus ditukar dengan beras.

Bayangkan saja token listrikmu bernyanyi dengan nada monoton dan memusingkan gendang telinga, lalu kamu membawa gitar kesayanganmu ke minimarket. Kamu mengamen di depan kasir dan minta disawer dengan token Rp20.000,00. Bisa bangkrut si kasir jika ia penuhi aksi nyentrik seperti itu.

Jadi, tepatlah maklumat Adi bahwa panggung paling aman bagi seniman adalah sanubari. Benar bahwa ada "anu" di dalam "sanubari", benar. Benar juga bahwa semua yang diwakili "anu" pasti meragukan. Namun, kita juga harus ingat bahwa dalam "sanubari" selalu ada "ubar" dan "bar". Ubar adalah obat pelipur lara, bar adalah tempat (bagi orang tertentu) untuk melipur lara.

(5)

Siapa yang harus memikirkan nasib seniman? Maaf. Saya harus menggeleng kalau nasib seniman harus diserahkan "ke tangan" Pemerintah. Zaman rapuh ini membuat kita semua keleyengan. Pemerintah puyeng, rakyat pusing.

Kasihan kalau seluruh penyelenggara negara terserang gegar otak gara-gara memikirkan seniman. Itu seloroh belaka. Percayalah, badai ada redanya. Selain itu, saya tidak meragukan kredibilitas Pemerintah. Saya hanya mempertanyakan! [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun