Ada anak muda yang nekat mengakhiri hidupnya sebelum pesta pernikahannya digelar. Ada musisi yang menahan tangis saat melego alat musiknya demi bertahan hidup. Setiap orang menanggung beban hidup dengan cara dan daya tahannya masing-masing.
Ada orangtua yang rela menanggung malu saat mencuri ponsel demi membela anaknya agar tetap belajar daring. Ada pengarang yang menahan laju kenangan ketika menjual murah laptop kesayangannya. Setiap orang punya duka masing-masing dan, belum tentu, punya cara terbaik untuk menyembuhkan duka itu.
Tiada ruang, tiada napas. Tidak hanya seniman, semua merasakan sengsara. Tidak hanya musisi, semua orang menjerit. Punggungku telah mati. Patah sudah tulang belakang yang membuat punggung tegak dan tegap menanggung beban. Patah sudah tulang belakang yang menyangga tubuh agar tetap menabung tabah. Ya, punggungku telah mati.
Berita-berita duka cita. Hanya itu yang dipampang media. Selebihnya nyinyir, umpat, dan umpan klik (click bait) menyesatkan. Kabar-kabar suka cita entah digondol apa dan dibawa ke mana. Bagaimana nasib seniman?
Tidak usah ribut-ribut. Seniman sanggup menelan nestapa semudah meneguk ludah. Seniman memilih berteriak lewat karya. Mereka "menyanyikan" lagu-lagu yang tabu atau takut didendangkan orang lain. Mereka "melagukan" keadaan dengan tembang lara yang cukup dipentaskan di kakus.
(4)
Tunggu, masih ada harapan hidup. Loh, memang tidak ada yang bilang bahwa sudah tidak ada harapan hidup. Seniman pasti punya masker "akan indah pada waktunya". Paling tidak tameng wajah bermerek "orang sabar disayang pasangan".
Di mana kami bisa berekspresi lagi? Tidak usah kalian tukas pertanyaan Adi, sebab itu pertanyaan retoris belaka. Adi sendiri, dalam puisi Doa di Saat Wabah, sudah menemukan dan menentukan jawabannya. Di sini. Di sanubari. Adi tahu, selalu terselip kemudahan pada semua kesulitan.
Masalahnya, kapan "Kemudahan" sudi memperlihatkan batang hidungnya? Di sisi lain, puisi tidak mungkin ditukar dengan segantang atau seliter beras. Sehebat apa pun saya dalam urusan membaca puisi, misalnya kalau hebat, saudagar jelas mangkir jika harus ditukar dengan beras.
Bayangkan saja token listrikmu bernyanyi dengan nada monoton dan memusingkan gendang telinga, lalu kamu membawa gitar kesayanganmu ke minimarket. Kamu mengamen di depan kasir dan minta disawer dengan token Rp20.000,00. Bisa bangkrut si kasir jika ia penuhi aksi nyentrik seperti itu.
Jadi, tepatlah maklumat Adi bahwa panggung paling aman bagi seniman adalah sanubari. Benar bahwa ada "anu" di dalam "sanubari", benar. Benar juga bahwa semua yang diwakili "anu" pasti meragukan. Namun, kita juga harus ingat bahwa dalam "sanubari" selalu ada "ubar" dan "bar". Ubar adalah obat pelipur lara, bar adalah tempat (bagi orang tertentu) untuk melipur lara.
(5)
Siapa yang harus memikirkan nasib seniman? Maaf. Saya harus menggeleng kalau nasib seniman harus diserahkan "ke tangan" Pemerintah. Zaman rapuh ini membuat kita semua keleyengan. Pemerintah puyeng, rakyat pusing.
Kasihan kalau seluruh penyelenggara negara terserang gegar otak gara-gara memikirkan seniman. Itu seloroh belaka. Percayalah, badai ada redanya. Selain itu, saya tidak meragukan kredibilitas Pemerintah. Saya hanya mempertanyakan! [kp]