Presiden Jokowi akhirnya membubarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Tidak aneh. Itu berita biasa. Presiden Jokowi membentuk institusi baru untuk menangani Covid-19, yakni Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Itu juga tidak aneh. Itu berita biasa juga.
Ketika Binar gampang jatuh sakit, orangtua mengganti namanya menjadi Sinar. Arti binar sebenarnya sama saja dengan makna sinar. Keduanya masih satu rumpun, yakni marga cahaya. Namun, ada eksperimen harapan di situ. Sinar dipandang lebih terang daripada binar. Ada benarnya, sih. Binar mata tentu tidak segarang sinar matahari.
Pergeseran nama, misalnya dari Binar menjadi Sinar, sangat lazim terjadi di tengah masyarakat. Apakah Binar tidak sakit-sakitan lagi setelah bertukar nama? Itu perkara lain. Apakah Binar rentan jatuh sakit benar-benar karena namanya? Itu juga perkara lain. Orangtua Binar hanya berharap anaknya tidak sakit-sakitan lagi. Itu saja.
Maka tidak ada sesuatu yang signifikan dari salin merek dari Gugus Tugas menjadi Satuan Tugas. Hanya semacam memastikan terjadinya perubahan garis komando dan pemegang wewenang.Â
Bagi rakyat, sama saja. Mau Gugus Tugas atau Satuan Tugas yang penting pagebluk selesai. Rakyat butuh uang agar bisa bertahan hidup. Rakyat juga butuh sehat supaya mampu mencari uang.
Pemerintah tentu berharap banyak agar Covid-19 dapat ditangani dengan baik. Rakyat juga begitu. Hanya saja, rakyat punya kenangan semiburuk soal gonta-ganti nama lembaga.
Dulu lembaga negara berubah dari departemen menjadi kementerian, hasilnya masih sama. Hingga hari ini Indonesia masih negara berkembang. Rakyat masih di depan pintu gerbang kemerdekaan, belum masuk-masuk, apalagi sungguh-sungguh merdeka.
Selain itu, Pemerintah juga meniadakan maklumat perkembangan pagebluk korona. Binar sendu di mata Pak Yuri ketika mengabarkan kondisi terkini pandemi korona tinggal kenangan.Â
Rakyat yang peduli situasi harus berusaha mencari sendiri informasi terbaru. Hal itu bisa saja memicu inflamasi harapan semu: dikira menurun malah menanjak; disangka membaik malah memburuk.
Tidak heran apabila berkembang polemik di tengah masyarakat. Setelah dirundung rasa putus asa karena sulit mencari nafkah, sekarang rakyat diserang simpang siur informasi.Â
Beberapa pendengung (buzzer) atau pemengaruh (influencer) yang punya pengaruh atas opini publik turut bersuara. Sebagian bernas, sebagian buruk. Bahkan beberapa pesohor seakan-akan memancing di air butek. Pengabar buruk dan pemancing di air butek itu sontak dirubung netizen.
Tahu sendiri betapa ganas reaksi warganet. Ada yang mengumpat dengan kalimat "jangan borong goblok sekalipun goblok itu gratis". Ada juga yang memaki lewat kalimat "otak ditaruh di kepala, bukan di dengkul". Bahkan ada yang menghujat dengan kalimat "semoga ada keluargamu yang terpapar korona". Pokoknya, rupa-rupa respons netizen.
Sebenarnya masuk akal jika banyak netizen meradang. Influencer memang berhak mengemukakan pendapat. Itu benar. Namun, pendapat yang apatis dan cenderung mengabaikan pagebluk jelas patut dipertanyakan.
Bagi orang yang telah kehilangan anggota keluarga atau kolega karena korona, peremehan tentu saja sangat menyakiti hati. Bagi tenaga kesehatan yang berjibaku dengan "baju astronot" hingga sesak dada, peremehan jelas-jelas melukai hati.
Hanya saja, tiap-tiap orang memasuki "rumah yakin" dari pintu yang berbeda. Ada orang yang yakin atas sesuatu karena ilmu pengetahuan. Bagi mereka, yakin cukup dengan temuan penelitian atau kajian mendalam yang dibaca di jurnal tepercaya.Â
Ada juga yang baru yakin setelah melihat sendiri. Ini yang repot. Nanti melihat dengan mata kepala sendiri baru percaya bahwa Covid-19 benar-benar ada. Nah, yang paling merepotkan adalah kaum yang baru yakin akan bahaya korona setelah mengalami sendiri. Entah dia entah keluarganya.
Lantas, apa maksud penghentian maklumat perkembangan pandemi korona? Entahlah. Yang paling relevan bagi masyarakat justru bagaimana cara bertahan hidup dalam situasi seburuk dan sebusuk ini.Â
Semua orang ingin sehat. Itu pasti. Namun, semua orang juga butuh uang. Kita butuh uang agar tetap sehat sekaligus perlu sehat agar tetap mampu mencari uang.
Dengan demikian, perdebatan tentang mana yang lebih penting di antara ekonomi atau kesehatan sungguh sia-sia. Orang yang punya tabungan berlimpah tentu tidak masalah walau harus terus di rumah. Lah, mereka punya pohon uang yang buahnya bisa dipetik setiap waktu.Â
Beda halnya dengan mereka yang tidak punya tabungan. Bayar kontrakan, beli token listrik, isi kuota ponsel, beli makanan, atau bayar cicilan. Itu semua bukan perkara remeh.
Mereka yang punya karyawan, misalnya, pasti kelabakan setiap menerima pesan dari karyawannya yang mulai sesak napas karena tercekik keadaan. Boro-boro membayar gaji karyawan, menyelamatkan usaha saja berat.
Begitu pula dengan mereka yang sehari-hari bekerja serabutan. Boro-boro dapat orderan, semua pintu rezeki susah terbuka.
Kesehatan atau ekonomi? Sudahlah. Itu seperti mempertanyakan mana yang lebih dulu ada antara telur dan ayam. [kp]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI