Tahu sendiri betapa ganas reaksi warganet. Ada yang mengumpat dengan kalimat "jangan borong goblok sekalipun goblok itu gratis". Ada juga yang memaki lewat kalimat "otak ditaruh di kepala, bukan di dengkul". Bahkan ada yang menghujat dengan kalimat "semoga ada keluargamu yang terpapar korona". Pokoknya, rupa-rupa respons netizen.
Sebenarnya masuk akal jika banyak netizen meradang. Influencer memang berhak mengemukakan pendapat. Itu benar. Namun, pendapat yang apatis dan cenderung mengabaikan pagebluk jelas patut dipertanyakan.
Bagi orang yang telah kehilangan anggota keluarga atau kolega karena korona, peremehan tentu saja sangat menyakiti hati. Bagi tenaga kesehatan yang berjibaku dengan "baju astronot" hingga sesak dada, peremehan jelas-jelas melukai hati.
Hanya saja, tiap-tiap orang memasuki "rumah yakin" dari pintu yang berbeda. Ada orang yang yakin atas sesuatu karena ilmu pengetahuan. Bagi mereka, yakin cukup dengan temuan penelitian atau kajian mendalam yang dibaca di jurnal tepercaya.Â
Ada juga yang baru yakin setelah melihat sendiri. Ini yang repot. Nanti melihat dengan mata kepala sendiri baru percaya bahwa Covid-19 benar-benar ada. Nah, yang paling merepotkan adalah kaum yang baru yakin akan bahaya korona setelah mengalami sendiri. Entah dia entah keluarganya.
Lantas, apa maksud penghentian maklumat perkembangan pandemi korona? Entahlah. Yang paling relevan bagi masyarakat justru bagaimana cara bertahan hidup dalam situasi seburuk dan sebusuk ini.Â
Semua orang ingin sehat. Itu pasti. Namun, semua orang juga butuh uang. Kita butuh uang agar tetap sehat sekaligus perlu sehat agar tetap mampu mencari uang.
Dengan demikian, perdebatan tentang mana yang lebih penting di antara ekonomi atau kesehatan sungguh sia-sia. Orang yang punya tabungan berlimpah tentu tidak masalah walau harus terus di rumah. Lah, mereka punya pohon uang yang buahnya bisa dipetik setiap waktu.Â
Beda halnya dengan mereka yang tidak punya tabungan. Bayar kontrakan, beli token listrik, isi kuota ponsel, beli makanan, atau bayar cicilan. Itu semua bukan perkara remeh.
Mereka yang punya karyawan, misalnya, pasti kelabakan setiap menerima pesan dari karyawannya yang mulai sesak napas karena tercekik keadaan. Boro-boro membayar gaji karyawan, menyelamatkan usaha saja berat.
Begitu pula dengan mereka yang sehari-hari bekerja serabutan. Boro-boro dapat orderan, semua pintu rezeki susah terbuka.