Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mas Nadiem Sebaiknya Pelesiran ke Kampung: Bukan Surat Terbuka

24 Juli 2020   22:35 Diperbarui: 26 Juli 2020   05:50 4544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar tanpa guru ibarat anak ayam kehilangan induk (Foto: Miftah/MFR Studio)


Mas Nadiem yang arif.

Semoga surat remeh ini dapat menemui Mas Nadiem, tidak mengganggu aktivitas Mas Nadiem selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan mudah-mudahan terbaca dengan baik tanpa meninggalkan jejak salah sangka atau buruk duga.

Perkenalkan, Mas Nadiem, saya seorang penulis recehan yang tengah dicecar cemas dan sedikit dicocor galau. Tulisan ini sebatas curhat yang tidak bertujuan apa-apa selain ingin sekadar berbunyi dan bersuara.

Adapun perkara yang ingin saya bunyikan dan persoalan yang hendak saya suarakan adalah tentang Pembelajaran Jarak Jauh yang tengah digencarkan oleh kementerian yang sedang Mas Nadiem pimpin.

Irmayanti, orangtua siswa yang berjuang mati-matian agar anaknya tetap belajar (Foto: Miftah/MFR Studio)
Irmayanti, orangtua siswa yang berjuang mati-matian agar anaknya tetap belajar (Foto: Miftah/MFR Studio)

Mas Nadiem yang bijak.

Perlu saya sampaikan bahwa kampung saya bernama Borongtammatea. Mohon tidak usah repot-repot mencari kampung saya di peta, Mas. Tidak bakal terjumpa. Sekadar bayangan, kampung saya terletak di Kabupaten Jeneponto, tepat di kaki Pulau Sulawesi.

Di kampung saya, Mas Nadiem, ponsel (mau yang cerdas atau yang bego) termasuk barang mewah. Jangankan ponsel, Mas, buat makan sehari-hari saja harus dikais sedemikian rupa. Itu kalau zaman normal. Pada zaman abnormal yang bertabur ketakutan pada korona ini, ponsel jelas bukan kebutuhan mendesak yang mesti segera dibeli.

Setakat itu, Mas Nadiem, orangtua mana pun tentu ingin benar menyenangkan hati anak-anaknya. Semua orangtua niscaya mau sekali melihat anak-anaknya cerdas dan berprestasi. Sekalipun kepala dan kaki terpaksa bertukar posisi, orang-orang di kampung saya juga mati-matian mencari uang demi sebuah ponsel.

Wiwin Asmara tetap tekun meski harus belajar di rumah (Foto: Miftah/MFR Studio)
Wiwin Asmara tetap tekun meski harus belajar di rumah (Foto: Miftah/MFR Studio)

Mas Nadiem yang baik hati.

Kenyataan jelas tidak seindah yang diinginkan, Mas Nadiem. Banyak orangtua murid di kampung saya yang tidak sanggup membeli gawai. Demi memenuhi pembelajaran tatap maya di kelas virtual, Irmayanti (seorang ibu rumah tangga) harus menahan malu. Ia pinjam ponsel tetangga asalkan anaknya tetap belajar.

Bagi orang kaya tentu saja ponsel bukan sesuatu yang memberatkan. Tidak bagi orangtua di kampung saya, Mas. Ada satu keluarga yang hanya punya satu ponsel. Bapak bekerja, anak gagal belajar. Ada juga yang sama sekali tidak punya ponsel. Irmayanti contohnya. Dapat pinjam ponsel pun masih harus memeras otak. Dari mana uang kuota bisa didapat?

Aulia Ramadani, putri Irmayanti, tentu saja bahagia walaupun belajar lewat ponsel pinjaman. Namun, bisakah Mas Nadiem bayangkan bagaimana perasaan Aulia andaikan ia dirisak atau diejek oleh teman-temannya karena ponsel pinjaman itu? 

Tenang, Mas Nadiem, saya tidak akan bercerita tentang pengaruh psikologis perisakan bagi anak didik.

Kelas Virtual versus Kelas Konvensional (Foto: Miftah/MFR Studio)
Kelas Virtual versus Kelas Konvensional (Foto: Miftah/MFR Studio)

Mas Nadiem yang murah senyum.

Beda lagi dengan Mantasia, ibunda Wiwin Asmara. Sia, begitu sapaannya, terpaksa habis-habisan menguras isi dompet demi membeli kuota bulanan. Dalam satu bulan, Wiwin rata-rata menghabiskan Rp105.000,00 untuk membeli kuota sebanyak 24 GB.

Bisakah Mas Nadiem bayangkan perasaan Sia tiap anaknya berbisik lirih karena kehabisan kuota? Barangkali bagi Mas Nadiem uang Rp105.000,00 tidak seberapa berat dicari, bagi beberapa orang di kampung saya angka sebegitu sangat besar dan berat didapat.

Panen jagung yang hanya satu kali setiap tahun. Hasilnya paling banter buat makan sehari-hari. Otak orangtua diperas demi memenuhi kebutuhan kuota Wiwin, Mas Nadiem. Selagi curah hujan cukup, jagung bisa jadi andalan pengebul dapur keluarga. Sekarang tidak. Harus ada uang demi asupan kuota sang anak.

Kampung saya, Mas Nadiem, tergolong kampung yang kering kerontang. Semasa saya remaja, kami harus antre hingga pukul dua dini hari demi mendapatkan dua jeriken air minum. Jangan ditanya soal air hujan, Mas Nadiem. Susah sekali. Apalagi uang, lebih susah lagi.

Biaya kuota mahal pun tidak peduli asalkan bisa belajar (Foto: Miftah/MFR Studio)
Biaya kuota mahal pun tidak peduli asalkan bisa belajar (Foto: Miftah/MFR Studio)

Mas Nadiem yang cerdas.

Selaku seorang menteri, Mas Nadiem tentu paham betapa pentingnya belajar bagi semua siswa. Beruntunglah di kampung kami orangtua paham tentang cara menghadapi anak mereka dalam situasi yang buruk. Mereka sudah tahan banting, Mas.

Bagaimana jika ayah atau ibu tidak mampu menemani anaknya belajar? Tidak semua orangtua di kampung saya sempat mengecap pendidikan tinggi, Mas Nadiem. Bisa lulus sekolah menengah saja sudah luar biasa. Tidak heran jika anak-anak di kampung kami banyak yang kedodoran. Jika tidak mengerti, mereka bingung harus bertanya kepada siapa.

Beda perkara jika kelas tatap muka dalam pembelajaran jarak dekat, Mas Nadiem. Siswa bingung, ada guru yang siap jadi teman belajar. Di rumah? Belum tentu. Ada juga, Mas Nadiem, orangtua siswa yang sering terjun langsung atau turut campur menyelesaikan tugas anak-anaknya.

Tentu saja itu kabar baik sekaligus kabar buruk, Mas Nadiem. Anak yang sekolah, ayah-ibunya ikut belajar. Itu kabar baiknya. Adapun kabar buruknya, saya yakin Mas Nadiem tahu, anak-anak dilatih tidak jujur sedari bangku sekolah.

Mas Nadiem yang rela menolong dan tabah.

Tentu kita semua senang tatkala melihat anak-anak sudah ramai dengan gawai. Namun, ada juga kegetiran yang menyumbat tenggorokan. Setelah televisi menyita waktu anak-anak, sekarang anak-anak disodori ponsel cerdas dengan aneka rupa permainan. Jangan-jangan nanti mereka tidak kenal lagi permainan tradisional.

Begini, Mas Nadiem. Kelas konvensional tetap lebih unggul dibanding kelas virtual. Saya yakin Mas Nadiem sependapat dengan saya. Di kelas konvensional, anak didik belajar di bawah pengawasan gurunya.

Di rumah, dalam kelas virtual, anak didik ditemani oleh orangtuanya. Rasa segan kepada bapak dan ibu guru lebih tinggi daripada rasa segan kepada ayah dan ibu, Mas Nadiem. Anak didik jelas segan memelotot kepada gurunya, sedangkan kepada orangtuanya mereka tidak segan-segan mengajukan sanggahan.

Risiko besarnya, Mas Nadiem, jika anak didik memiliki orangtua dengan "kalimat makian" yang setiap saat terhambur dari mulut tanpa disengaja. Alih-alih belajar penuh konsentrasi, anak-anak malah disuguhi teladan yang keliru. 

Sekali lagi, Mas Nadiem, tidak semua orangtua paham pedagogi dan psikologi anak. Termasuk sebagian orangtua di kampung saya.

Kangen Bapak dan Bu Guru (Foto: Miftah/MFR Studio)
Kangen Bapak dan Bu Guru (Foto: Miftah/MFR Studio)

Mas Nadiem yang bijak bestari.

Demikian surat terbuka ini saya kirimkan ke hadapan Mas Nadiem. Mohon maaf, Mas, saya hanya bercerita. Tidak berniat mengkritik kebijakan PJJ dan tidak bermaksud mencela kebijakan Mas Nadiem selaku menteri.

Sekali lagi, saya hanya berkabar kepada Mas Nadiem bahwa tidak semua orangtua siswa sanggup membeli gawai. Kalaupun ada yang sanggup, belum tentu juga mereka mampu membeli kuota setiap bulan.

Dalam keadaan sesulit ini, kita semua tentu punya keperihan masing-masing. Di pelosok desa, banyak hal lebih ruwet yang dihadapi orangtua dan siswa selama pembelajaran jarak jauh, Mas Nadiem. Jadi, kecemasan atas pandemi korona ditambah pula dengan kekhawatiran tidak bisa ikut proses belajar di kelas virtual.

Selain itu, Mas Nadiem, kebanyakan siswa dan orangtua tidak paham tentang keamanan data pribadi. Rata-rata mereka buta seberapa penting menjaga data pribadi dan seberapa bahaya dampak kebocoran data pribadi.

Jangankan mereka, Mas Nadiem, wakil rakyat di Senayan saja masih banyak yang gagal paham soal keamanan data pribadi. Faktanya, hingga sekarang RUU Perlindungan Data Pribadi tidak dianggap penting dan mendesak.

Jika sudah begitu, siapa yang dapat menjamin keamanan data pribadi siswa? Pemerintah? Saya tidak terlalu yakin, Mas Menteri. Penyedia layanan konferensi video atau pertemuan virtual? Saya lebih tidak yakin lagi.

Akan tetapi, saya mengajak Mas Nadiem pelesiran ke kampung-kampung. Bisa pelesiran konvensional dengan berkunjung langsung, bisa pelesiran virtual lewat tamasya digital.

Terima kasih, Mas Nadiem. Semoga pandemi ini lekas berlalu. Kalaupun masih lama, saya berharap Mas Nadiem berkenan mempertimbangkan untuk meliburkan sekolah. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun