Pernah juga ada yang memprotes nama saya. Nama Daeng melanggar kaidah Ejaan Bahasa Indonesia, karena bahasa kita tidak mengenal konsonan ganda /ch/. Saya jawab serius sambil cengengesan. Nama adalah hak prerogatif pemberi dan penerima. Saya tidak mengada-ada. Itu benar.
Bayangkan nasib Bambang Pamungkas kalau harus ganti nama menjadi Bambang Pemungkas, sebab Pamungkas tidak baku menurut KBBI. Bagaimana pula nasib orang-orang yang bernama Putera dan Puteri, sebabyangbakumenurutKBBI adalah Putra dan Putri.
Sekarang coba renungkan nasib orang-orang yang bernama Ramdan atau Ramlan, sebab nama mereka tidak sesuai KBBI (Ramadan) atau bahasa asal (Ramadhan).
Biar bagaimanapun, perbedaan satu huruf saja pada nama di ijazah, tanda pengenal, dan buku nikah bisa berakibat fatal. Alamat pontang-panting mengurus pengubahan nama. Alamat jadi bola pingpong yang harus mondar-mandir ke sana sini.Â
Taksir juga berapa kira-kira biaya yang mesti digelontorkan oleh Pemprov DKI Jakarta demi perbaikan nama Glodok dan Grogol. Sebab, menurut KBBI, yang baku adalah gelodok (kotak; peti) dan gerogol (rumah di atas rakit).
(4)
Hari ini mestinya saya bahagia. Setelah empat tahun berteduh di rumah bernama Kompasiana, akhirnya saya akan pindah kamar. Mirip seperti naik kelas. Dari Taruna ke Penjelajah. Itu pencapaian luar biasa karena saya sering ingkar tulis.
Semula saya berniat menggelar syukuran kecil-kecilan. Setidaknya potong tumpeng, kemudian mengundang Kompasianer di Jabodetabek dan Admin Kompasiana. Termasuk Kevin dan Harry.Â
Akan tetapi, pesan tentang keliru tulis nama telanjur memberati dan membebani benak saya. Saya telanjur lejar alias sangat penat. Untung sudah saya edit judulnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H