Gonjang-ganjing bagi-bagi kursi basah di pelbagai BUMN tiba-tiba mengemuka. Di sisi lain, Adian Napitupulu mempertanyakan kinerja beberapa perusahaan pelat merah yang terus menangguk suntikan modal negara alih-alih menyumbang devisa.
Sebagai wakil rakyat, politikus PDI Perjuangan tersebut tengah menggunakan haknya untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perusahaan berskala nasional milik negara adalah aset besar bagi kepentingan nasional. Itulah titik tumpuk kritik keras yang diajukan Adian.
Belakangan, kebijakan Kementerian BUMN dalam mengangkat komisaris menuai banyak kritik. Jenderal TNI didaulat menjadi komisaris. Petinggi Polri dipilih menjadi komisaris. Penggawa partai politik dilantik menjadi komisaris. Relawan pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf didapuk menjadi komisaris.
Gonjang-ganjing itu lambat laun makin kencang. Menteri BUMN Erick Thohir seperti perusahaan jasa layanan titipan. Beliau menerima titipan nama dari berbagai pihak. Kementerian. Politisi. Relawan. Organisasi kemasyarakatan. Pendek kata, titipan itu bermunculan seperti jamur di musim hujan.
Harus diakui bahwa "kursi basah" komisaris BUMN memang magnet yang menggiurkan. Selain kucuran gaji besar, komisaris juga berhak atas tentiem atau bagi hasil laba perusahaan. Rapat sekali dalam seminggu, kasih nasihat ini dan itu, lantas mandi hujan duit. Sangat menjanjikan kemakmuran rekening dan kesejahteraan dapur.
Bank Mandiri, salah satu BUMN rangking atas, pada tahun buku 2019 menyediakan Rp97,82 miliar kepada delapan komisaris. Rata-rata setiap komisaris mendapat jatah tentiem sebesar Rp12,2 miliar. Hujan uang.
Dilansir Kompas.com, hal serupa terjadi di BRI. Bank yang merambah hampir seluruh pelosok nusantara, berdasarkan laporan tahunan perseroan 2019, memberikan Rp128,37 miliar kepada 10 komisaris. Rata-rata  setiap komisaris menerima sebesar Rp12,83 miliar. Hujan uang lagi.
Menyoal Titipan Nama
Mari kita berhitung. Ada 142 BUMN dan, anggap saja, 800 perusahaan anak cucu BUMN. Saya menyebut anggap saja 800 untuk mempermudah hitung-hitungan kita. Dengan demikian, peluang bancakan kursi komisaris sangat besar. Ada 942 perusahaan. Sangat banyak.
Selanjutnya, mari berandai-andai. Jikalau tiap perusahaan pelat merah itu membutuhkan 5 komisaris berarti kursi basah yang siap diduduki berjumlah 4.710 buah. Siapa yang akan duduk di sana? Bagaimana mereka duduk di sana? Apa yang mereka lakukan selaku komisaris? Apa yang berhak mereka terima sebagai komisaris?
Itu baru tiga pertanyaan yang tebersit di benak saya. Sebelumnya saya sudah mengutip soal tentiem yang berhak diterima oleh seorang komisaris. Contohnya di BRI dan Bank Mandiri. Bagaimana dengan gaji? Kalau kita pukul rata dulu Rp20 juta per orang, berarti butuh dana sebesar Rp94.200.000.000,00. Itu uang semua, bukan daun yang luruh ke tanah kering.
Komisaris BUMN jelas tidak bisa bekerja asal-asalan. Ada syarat yang mesti mereka penuhi. Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMNÂ menggariskan bahwa komisaris wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparasi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.
Tolok ukur utama adalah profesionalisme. Dengan demikian, seorang komisaris wajib memenuhi syarat berintegritas, berdedikasi, memahami masalah manajemen perusahaan, memiliki pengetahuan yang memadai atas bidang usaha, serta sanggup menyediakan waktu yang memadai bagi perusahaan.
Selain itu, syarat diangkat menjadi Komisaris BUMN tercantum dalam Bab II Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN. Syaratnya mutlak, yaitu "bukan pengurus Partai Politik dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif".
Melihat potensi hujan uang, tidak heran jika kursi komisaris diincar oleh banyak pihak. Partai politik pengusung Pak Jokowi, misalnya, jelas tergiur ikut mencicip. Begitu pula dengan para relawan yang merasa sudah menanam saham atas keterpilihan Pak Jokowi.
Jadilah Pak Menteri BUMN sebagai sasaran empuk. Erick Thohir bagai diterpa badai kepentingan begitu memimpin Kementerian BUMN. Titipan calon komisaris berdatangan dari segala penjuru. Ada yang melalui percakapan di Whatsapp, ada yang disampaikan langsung ketika bertemu dengannya.
Mantan pemilik dan petinggi Inter Milan itu kemudian berinisiatif mengubah mekanisme pengajuan calon komisaris. Siapa saja yang mengajukan nama calon komisaris, sebagaimana dilansir Tempo, harus mengirimkan surat kepada Menteri BUMN.
Surat pengajuan tersebut mesti mencantumkan nama calon, klasifikasi calon, dan posisi komisaris yang dituju. Tak ayal, surat-surat pengajuan menyerbu kantor Kementerian BUMN. Sebanyak 142 kursi komisaris BUMN serta 800 kursi komisaris perusahaan anak-cucu BUMN seperti gula yang dikerubuti kawanan semut.
Apakah semua nama itu memenuhi persyaratan sesuai peraturan yang berlaku? Itu perkara khusus yang menjadi ranah wewenang Pak Erick. Beliau tentu punya cara dan metode khusus dalam memilih komisaris. Dengan kata lain, Pak Erick harus lebih tunduk pada kepentingan nasional daripada kepentingan politik.
Menyisir Posisi Kursi Komisaris
Bukan hanya menerima gaji dari BUMN, sebanyak 397 komisaris BUMN merupakan persona yang rangkap jabatan. Itu berarti ratusan orang tersebut rangkap gaji. Contoh kasus beberapa wakil menteri. Gaji dari kementerian dapat, gaji dan tentiem dari BUMN juga dapat.
Sebanyak 397 komisaris BUMN merangkap jabatan di tempat lain. Budi Gunadi Sadikin selaku Wakil Menteri BUMN (PT Pertamina) dan Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan (PT PLN) dapat kita jadikan contoh kasus. Keduanya main rangkap. Jabatan dobel, gaji ganda.
Rakyat layak mempertanyakan apakah syarat "dapat menyediakan waktu yang cukup" terpenuhi atau tidak. Kesibukan sebagai wakil menteri sudah menyita waktu, masih pula direcoki kewajiban mengurus BUMN.
Anggap saja mereka sanggup membagi waktu, tetap saja ada satu perkara yang janggal dan mengganjal. Apakah sudah tidak ada warga negara Indonesia lain yang memenuhi syarat sehingga Pak Wamen mesti rangkap jabatan?
Saya tidak yakin hanya beliau-beliau yang patut dan layak. Coba saja Pak Erick mengumumkan di koran atau di televisi tentang "Lowongan Kerja Selaku Komisaris BUMN". Saya percaya banyak pihak yang layak dan mampu menjadi penasihat jajaran direksi BUMN.
Silakan tilik data seadanya tentang komisaris BUMN dari kementerian, TNI/Polri, Parpol, atau ormas yang saya kumpulkan dari beberapa sumber.
Berikutnya, mari kita lihat porsi kursi komisaris BUMN yang diduduki oleh para sukarelawan yang pada Pilpres 2019 gencar mendukung Pak Jokowi.
Mengulik Perlawanan Adian Napitupulu
Adian Napitupulu adalah politikus yang berasal dari partai moncong putih, partai utama yang mengusung Pak Jokowi. Selaku kader partai yang tengah "berkuasa", mestinya Adian menyokong kebijakan Pemerintah. Ternyata tidak. Adian tetap getol mengkritik atau mempertanyakan kebijakan Pemerintah.
Hal teranyar, dilansir Kompas.com, adalah kritisi Adian tentang pemilihan komisaris di perusahaan pelat merah. Kritik keras itu oleh sebagian orang dianggap sebagai perlawanan keras terhadap Erick Thohir. Ada juga yang, tanpa tedeng aling-aling, mengira Adian gerah karena ada koleganya yang dicopot dari kursi komisaris.
Silakan tilik data di bawah ini.
Jika kita bertolak dari hitungan kasar 4.710 kursi komisaris, lalu kita sapu rata saja 710 orang terjaring dari "jasa layanan titipan nama", lantas dari mana asal 4.000 orang yang duduk manis di kursi komisaris?
Apakah ribuan orang itu memenuhi kompetensi selaku komisaris? Patut dipertimbangkan, para komisaris harus memeriksa laju kas dan arus keuangan perusahaan pelat merah. Ini bukan perkara remeh. Uang rakyat dipertaruhkan dan kepentingan nasional dipertaruhkan.
Partai-partai politik yang ikut menggunakan jasa layanan titipan nama mungkin merasa perlu ikut ambil bagian. Alasan heroiknya demi menjaga dan mengawal kepentingan nasional. Alasan serupa berlaku bagi relawan, termasuk Adian dan kawan-kawannya.
Bagaimana dengan 4.000 (ingat, ini taksiran kasar) yang lain? Apakah mereka juga dapat menduduki kursi komisaris melalui jalur jasa layanan titipan nama? Jika ya, siapa yang menitipkan mereka? Apa jadinya kalau mereka dititipkan oleh barisan mafia?
Jangan ingat, negeri tercinta ini masih dihantui bahaya laten bernama mafia hukum, mafia migas, mafia tanah, dan mafia-mafia lain yang bisa sewaktu-waktu menggerus kepentingan nasional dan keberpihakan pada rakyat.
Menyegel Tradisi "Terserah"
Sebagai rakyat Indonesia yang turut membayar pajak--sekalipun tidak banyak, saya tentu saja berharap jabatan komisaris BUMN tidak dijadikan alat barter balas jasa penguasa sekarang dengan para pendukungnya.
Saya tidak bisa dan tidak biasa menggunakan slogan "terserah". Komisaris BUMN bukan jabatan ecek-ecek. Orang-orang yang duduk di sana tidak boleh dari kalangan abal-abal.Â
Kalaupun gosip tentang "jasa layanan titipan nama" yang diakui sendiri oleh Pak Erick benar-benar terjadi, kursi komisaris seyogianya tidak dijadikan hadiah bancakan.
Menteri BUMN harus memastikan bahwa mereka yang dipilih menjadi komisaris adalah orang-orang yang memiliki kompetensi. Bodoh amat dengan argumen "ini menyangkut kredibilitas Jokowi", sebab kepentingan nasional jauh lebih penting dibanding kredibilitas Pak Jokowi. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H