Berikutnya, mari kita lihat porsi kursi komisaris BUMN yang diduduki oleh para sukarelawan yang pada Pilpres 2019 gencar mendukung Pak Jokowi.
Mengulik Perlawanan Adian Napitupulu
Adian Napitupulu adalah politikus yang berasal dari partai moncong putih, partai utama yang mengusung Pak Jokowi. Selaku kader partai yang tengah "berkuasa", mestinya Adian menyokong kebijakan Pemerintah. Ternyata tidak. Adian tetap getol mengkritik atau mempertanyakan kebijakan Pemerintah.
Hal teranyar, dilansir Kompas.com, adalah kritisi Adian tentang pemilihan komisaris di perusahaan pelat merah. Kritik keras itu oleh sebagian orang dianggap sebagai perlawanan keras terhadap Erick Thohir. Ada juga yang, tanpa tedeng aling-aling, mengira Adian gerah karena ada koleganya yang dicopot dari kursi komisaris.
Silakan tilik data di bawah ini.
Jika kita bertolak dari hitungan kasar 4.710 kursi komisaris, lalu kita sapu rata saja 710 orang terjaring dari "jasa layanan titipan nama", lantas dari mana asal 4.000 orang yang duduk manis di kursi komisaris?
Apakah ribuan orang itu memenuhi kompetensi selaku komisaris? Patut dipertimbangkan, para komisaris harus memeriksa laju kas dan arus keuangan perusahaan pelat merah. Ini bukan perkara remeh. Uang rakyat dipertaruhkan dan kepentingan nasional dipertaruhkan.
Partai-partai politik yang ikut menggunakan jasa layanan titipan nama mungkin merasa perlu ikut ambil bagian. Alasan heroiknya demi menjaga dan mengawal kepentingan nasional. Alasan serupa berlaku bagi relawan, termasuk Adian dan kawan-kawannya.
Bagaimana dengan 4.000 (ingat, ini taksiran kasar) yang lain? Apakah mereka juga dapat menduduki kursi komisaris melalui jalur jasa layanan titipan nama? Jika ya, siapa yang menitipkan mereka? Apa jadinya kalau mereka dititipkan oleh barisan mafia?
Jangan ingat, negeri tercinta ini masih dihantui bahaya laten bernama mafia hukum, mafia migas, mafia tanah, dan mafia-mafia lain yang bisa sewaktu-waktu menggerus kepentingan nasional dan keberpihakan pada rakyat.