Selain itu, syarat diangkat menjadi Komisaris BUMN tercantum dalam Bab II Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN. Syaratnya mutlak, yaitu "bukan pengurus Partai Politik dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif".
Melihat potensi hujan uang, tidak heran jika kursi komisaris diincar oleh banyak pihak. Partai politik pengusung Pak Jokowi, misalnya, jelas tergiur ikut mencicip. Begitu pula dengan para relawan yang merasa sudah menanam saham atas keterpilihan Pak Jokowi.
Jadilah Pak Menteri BUMN sebagai sasaran empuk. Erick Thohir bagai diterpa badai kepentingan begitu memimpin Kementerian BUMN. Titipan calon komisaris berdatangan dari segala penjuru. Ada yang melalui percakapan di Whatsapp, ada yang disampaikan langsung ketika bertemu dengannya.
Mantan pemilik dan petinggi Inter Milan itu kemudian berinisiatif mengubah mekanisme pengajuan calon komisaris. Siapa saja yang mengajukan nama calon komisaris, sebagaimana dilansir Tempo, harus mengirimkan surat kepada Menteri BUMN.
Surat pengajuan tersebut mesti mencantumkan nama calon, klasifikasi calon, dan posisi komisaris yang dituju. Tak ayal, surat-surat pengajuan menyerbu kantor Kementerian BUMN. Sebanyak 142 kursi komisaris BUMN serta 800 kursi komisaris perusahaan anak-cucu BUMN seperti gula yang dikerubuti kawanan semut.
Apakah semua nama itu memenuhi persyaratan sesuai peraturan yang berlaku? Itu perkara khusus yang menjadi ranah wewenang Pak Erick. Beliau tentu punya cara dan metode khusus dalam memilih komisaris. Dengan kata lain, Pak Erick harus lebih tunduk pada kepentingan nasional daripada kepentingan politik.
Menyisir Posisi Kursi Komisaris
Bukan hanya menerima gaji dari BUMN, sebanyak 397 komisaris BUMN merupakan persona yang rangkap jabatan. Itu berarti ratusan orang tersebut rangkap gaji. Contoh kasus beberapa wakil menteri. Gaji dari kementerian dapat, gaji dan tentiem dari BUMN juga dapat.
Sebanyak 397 komisaris BUMN merangkap jabatan di tempat lain. Budi Gunadi Sadikin selaku Wakil Menteri BUMN (PT Pertamina) dan Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan (PT PLN) dapat kita jadikan contoh kasus. Keduanya main rangkap. Jabatan dobel, gaji ganda.
Rakyat layak mempertanyakan apakah syarat "dapat menyediakan waktu yang cukup" terpenuhi atau tidak. Kesibukan sebagai wakil menteri sudah menyita waktu, masih pula direcoki kewajiban mengurus BUMN.
Anggap saja mereka sanggup membagi waktu, tetap saja ada satu perkara yang janggal dan mengganjal. Apakah sudah tidak ada warga negara Indonesia lain yang memenuhi syarat sehingga Pak Wamen mesti rangkap jabatan?
Saya tidak yakin hanya beliau-beliau yang patut dan layak. Coba saja Pak Erick mengumumkan di koran atau di televisi tentang "Lowongan Kerja Selaku Komisaris BUMN". Saya percaya banyak pihak yang layak dan mampu menjadi penasihat jajaran direksi BUMN.
Silakan tilik data seadanya tentang komisaris BUMN dari kementerian, TNI/Polri, Parpol, atau ormas yang saya kumpulkan dari beberapa sumber.