Banyak mahasiswa yang meremehkan atau memandang remeh bahasa Indonesia, padahal kelimpungan ketika skripsi mereka dicorat-coret oleh dosen pembimbing. Banyak pula penulis yang merasa sudah paham bahasa Indonesia, padahal mereka masih keteteran saat menggunakan kata sambung.
Fenomena mahasiswa keleyengan gara-gara skripsi direvisi berkali-kali bukanlah sesuatu yang asing. Itu lumrah terjadi. Begitu pula dengan penulis, termasuk Kompasianer, yang kadang-kadang rongseng karena tulisannya tidak selesai-selesai.
Jika hal sedemikian terjadi maka berhentilah menasihati teman atau saudaramu dengan kalimat klise, seperti "menulis itu mudah". Hindari saran seperti itu. Kamu harus punya empati. Jangankan menyelesaikan skripsi, menemukan judul pun sulit. Begitu judul ketemu, dosen pembimbing tidak klop. Tatkala judul diterima, proposal ditolak.
Maka dari itu, jauhkan saran "menulis itu mudah" dari mahasiswa yang selama beberapa hari menderita beser-beser dan berak-berak akibat revisi berkali-kali. Itu menyakitkan. Daripada menggampangkan, lebih baik minta mereka membaca artikel ini. Siapa tahu temanmu terbantu. Kamu terima pahala, saya dapat pembaca. Â
Sebenarnya rumus "menulis itu gampang" hanya dikuasai oleh orang dengan kemahiran menulis yang setara dengan kemampuan mengedip atau menghela napas. Sekali duduk kelar satu bab. Sekali mengetik selesai satu artikel.
Sayang sekali, jumlah orang seperti itu tidak banyak.
Karena Bahasa Indonesia Itu (Tidak) Mudah
Jika ada mahasiswa mengaku bahwa skripsinya tidak kelar-kelar karena susah bertemu dengan dosen pembimbingnya, jangan terlalu mudah percaya. Mungkin dospemnya memang susah ditemui, mungkin juga si mahasiswa kurang alot memperjuangkan skripsinya. Bagaimanapun, dospem juga manusia. Sentuh hatinya.
Di sisi lain, kita memang harus mengakui bahwa banyak mahasiswa yang tidak serius membiasakan diri belajar menulis sejak remaja. Sudahlah materi pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah begitu-begitu melulu, malas pula mengasah kemampuan menulis di rumah. Giliran tugas skripsi tiba di depan mata, langit seakan-akan runtuh dan jatuh tepat menimpa kepala.
Ada juga mahasiswa yang mengira bahwa bahasa Indonesia sangat mudah. Alasannya karena mereka sudah menggunakan bahasa Indonesia sejak balita. Padahal, mereka kontan kelabakan jika diminta membedakan preposisi dan konjungsi. Itu fakta, Kawan.
Memang bahasa Indonesia mudah kalau kita tahu cara atau kaidah menggunakannya. Lo, apa pun mudah kalau kita tahu cara melakukan atau menggunakannya. Lantas, mengapa banyak mahasiswa atau penulis yang "menyerah sebelum perang usai"?
Pelan-pelan, Kawan. Saya akan menguliknya dari satu sisi dulu.Â
Melalui artikel receh ini, kita akan membincangkan konjungsi korelatif. Ini ilmu rendahan yang sangat penting bagi mereka yang selama ini sukar menghubungkan kata dengan kata, frasa dengan frasa, kalimat dengan kalimat, atau alinea dengan alinea. Jika kalian sudah khatam menggunakan konjungsi, termasuk konjungsi korelatif, enam skripsi pun bisa kelar dalam satu semester.
Berkenalan dengan Konjungsi KorelatifÂ
Langsung saja, ya. Konjungsi korelatif adalah "jembatan" yang menghubungkan dua kata, frasa, atau klausa dengan status sintaksis yang sama.
Ciri-ciri konjungsi korelatif tidak ruwet, yakni (1) terdiri atas dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau klausa yang dihubungkan; dan (2) cenderung bersifat baku, idiomatis, dan standar sehingga tidak dapat diubah atau dimodifikasi.
Unsur-unsur konjungsi korelatif harus hadir bersamaan dalam satu kalimat. Sekali lagi, pasangannya tetap. Jangan ditukar-tukar atau dicopot-pasang sekehendak hati. Simak contoh di bawah ini.
- Apa kamu suka atau tidak, aku tetap mencintaimu.
- Bukan dia yang suka, melainkan aku yang cinta mati kepadamu.
- Lebih baik kauterima terima cintaku daripada kauletih menolak berkali-kali.
Pasangan "apa" dalam contoh (1) adalah "atau", konco "bukan" pada contoh (2) adalah "melainkan", sedangkan kolega "lebih" dalam contoh (3) adalah "daripada". Itu baku. Jadi, mulai sekarang jauhilah kebiasaan buruk memisahkan pasangan yang sudah ajek.
Apabila kamu main pisah-pisah sesuka hati maka bangunan makna kalimat akan ambrol. Dospem pun bertambah pekerjaannya karena harus coret sana coret sini. Mestinya sekali revisi, akhirnya berkali-kali. Waktu dospem tersita dan, tentu saja, hal itu bisa membuat dospem berang.
Kaidah pertama yang harus kamu patuhi adalah tidak main bongkar pasangan. Itu saja dulu. Ingat, Kawan, kita saja mengamuk kalau ada orang lain yang coba-coba mengembat pasangan kita. Ah, maaf, itu amsal yang kocak. Abaikan saja.
Supaya otakmu melek dan dapat mengenali macam-macam konjungsi korelatif, berikut ini saya hidangkan tabel siap santap. Silakan gunakan sebagai bekal sepanjang menempuh jalan berliku menyusun skripsi atau menulis artikel.Â
Sisik-melik Konjungsi Korelatif
Jika skripsimu dicorat-coret oleh dospem, tidak usah bermuram durja. Anggap saja hal itu sebagai latihan untuk mengasah kecerdasan gramatikal. Sisir ulang skripsi atau artikel yang kamu anggit sejak kalimat pembuka hingga alinea penutup.
Perhatikan dengan saksama jangan-jangan masih ada kalimat yang tidak padu. Periksa baik-baik sebelum kamu serahkan kepada dospem atau agihkan kepada pembaca. Revisi hingga berkali-kali memang tidak sakit, tetapi memalukan. Persis jatuh ke comberan: sakit tidak seberapa, malunya bukan kepalang.
Ada satu hal sederhana yang patut kita camkan. Kepaduan. Tingkat keterbacaan dan keterpahaman skripsi atau artikel kita sangat ditentukan oleh kepaduan bentuk (kohesi) dan kepaduan makna (koherensi). Kepaduan itu bisa terwujud apabila kita sudah ahli menggunakan konjungsi.
Sampai di sini sudah bingung? O, baiklah. Ada beberapa contoh penggunaan konjungsi korelatif yang dapat saya sodorkan.Â
- Apakah kamu percaya atau tidak, virus korona memang benar-benar ada.
- Baik Pemerintah maupun DPR harus mendahulukan kepentingan rakyat.
Kalimat (1) menegaskan bahwa percaya atau tidak percaya virus korona memang ada. Fungsi konjungsi korelatif pada kalimat itu adalah memperjelas 'hubungan perlawanan yang menyatakan penegasan'.
Adapun kalimat (2) memperlihatkan bahwa semua pejabat harus peduli pada kepentingan rakyat. Unsur yang terhubung adalah Pemerintah dan DPR. Tujuannya, memastikan 'hubungan perlawanan yang menyatakan penguatan'.
Sekarang tilik contoh kalimat di bawah ini.
- Pencopet itu berlari demikian kencang sehingga sukar dikejar.
- Jangankan aku yang masih bau kencur, dia yang sudah kawakan pun bisa patah hati.
Dari kalimat (1) dapat kita ketahui bahwa si pencopet sulit dikejar karena ia berlari sangat kencang. Konjungsi korelatif dalam kalimat tersebut menyatakan 'penggabungan yang menguatkan'.
Adapun kalimat (2) menunjukkan hubungan yang 'menguatkan dan mempertentangkan'. Ada variasi pasangan berbeda (lihat dalam tabel). Misalnya: Jangankan aku yang masih muda, sedangkan kamu yang lebih tua saja belum paham hakikat cinta sejati.
Simak juga contoh kalimat di bawah ini.
- Kamu tidak hanya menyebalkan, tetapi juga mengecewakan.
- Entah disetujui entah tidak, aku tetap harus pergi.
Kalimat (1) menyatakan hubungan perlawanan yang menguatkan. Di sisi lain, makna hubungan 'perlawanan yang menyatakan penegasan' bisa kita dapati pada kalimat (2). Apabila kita menggunakan pasangan "... bukan ..., melainkan ..." berarti 'mengoreksi atau membetulkan'.
Pada Akhirnya Semua MudahÂ
Konjungsi korelatif dapat menguatkan makna yang kita sasar pada kalimat yang kita sajikan. Makin fasih memakai bentuk konjungsi ini makin kuat pula fondasi wacana kita.
Apakah semudah itu? Tentu tidak. Ada kata kunci yang harus kita hafal mati: latihan. Percaya atau tidak, orang mahir pasti melalui latihan yang berat dan rutin.Â
Selama kamu malas-malasan, mustahil kemampuan menulismu meningkat. Jika tetap begitu, skripsimu besar kemungkinan masih penuh coretan. Artikelmu juga masih acak-acakan. Itu terjadi hanya karena kamu masih belum konsisten berlatih. Orang Sunda menyebutnya "belang-betong".
Sebagai sajian penutup, artikel ini adalah sekuel kedua dari tulisan saya tentang kata sambung. Bagian pertama adalah Kompasianer yang Keteteran dan Kata Sambung yang Kelupaan. Silakan klik dan baca.
Semoga berguna mengobati rasa puyeng di kepalamu akibat skripsi atau tulisan yang tidak kelar-kelar. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H