Ketiga, kemewahan akun centang biru yang otomatis tulisannya dapat label "pilihan". Ini yang bikin Eyang Sinto Gendeng menggerundel. Dulu asyik. Sekali waktu, artikel berlabel "pilihan" itu ada kemungkinan benar-benar pilihan. Setidaknya artikel bersih dari tanda titik 10 biji atau tanda seru lima batang. Isinya oke, bingkai gagasan tokcer, penyajian moncer. Sekarang beda. Asal akunmu centang biru, otomatis tulisanmu dapat merek pilihan.
Jangan terlalu serius, Om Gege. Santai saja. Ikut gaya Mbah Ukik, dong.
Pulang ke rumah dengan suasana baru yang serba asing itu bikin limpung, Mas Tedra. Saya langsung disuguhi rupa-rupa tulisan. Dari kamar fiksiana hingga humaniora. Dari artikel politik hingga humor. Macam-macam. Bagus-bagus. Hebat-hebat. Ada Kompasianer yang selalu menyajikan tulisan bernas dan bergizi; ada yang muncul dengan gagasan ringan yang brilian; ada yang mengulik perkara berat dengan teknik menulis yang apik.
Itu bagian puja puji saya. Ada bagian caci maki. Mau tahu, Engkong Felix? Terus terang, makin banyak Kompasianer yang keteteran. Dari anggitan yang diagihkan di K, selaku pembaca saya sering ngos-ngosan. Bukan apa-apa. Beberapa artikel seperti robot yang lengan dan tungkainya tanpa otot dan sendi. Lebih kaku dari kanebo kering. Sapu ijuk saja kalah kaku. Setara dengan paku!
Saya sadis? Tidak, kok. Seturun dari Gunung Cemas, saya mulai mengamalkan ilmu mengilukan lidah agar tidak memilukan orang lain. Dulu saya bebas-bebas saja berkomentar. Mas A kurang fasih memakai preposisi, misalnya. Mbak B perlu melatih penggunaan kalimat aktif dan pasif, contohnya. Kak C seperti tidak pernah belajar cara memakai tanda koma, umpamanya.
Nah, artikel yang saya baca belakangan ini sering berasa seperti naik metromini yang enjot-enjotan. Jalan beraspal rata, tetapi pantat kita diungkat-ungkit. Tersendat-sendat. Maaf, saya segan sebut nama. Bukan karena takut, melainkan karena banyak. Artikel dengan jatah 1500 kata tidak akan cukup. Supaya tulisan ini ada sedikit manfaatnya, saya kasih tahu saja penyebabnya.
Saya percaya teman-teman Kompasianer rajin berlatih. Jadi, cobalah mulai meraut kemahiran menggunakan kata depan dan kata penghubung. Jadikan kalimat kalian dalam tiap alinea itu sambung-menyambung dengan mulus. Enteng, kan? Kalau kalian khatam dalam urusan memakai kata penghubung, percayalah bahwa tulisan kalian renyah baca.
Tunggu dulu. Jangan kira urusan kata penghubung atau konjungsi itu mudah. Ini saya kasih tahu, Bro Hadi. Ada konjungsi intrakalimat, ada konjungsi antarkalimat, ada pula konjungsi antaralinea. Ada konjungsi yang didahului tanda koma, ada yang diikuti tanda koma, ada yang tidak didahului atau diikuti oleh tanda koma.Â
Selebihnya, ada pula konjungsi yang berpasangan (bukan ..., melainkan ...; tidak ..., tetapi ...).
Rindu Guyon Receh
Saya yakin, teman Kompasianer pasti penasaran soal contoh penggunaan konjungsi. Masih ingat apa nama lain konjungsi, kan? Kalau lupa, gulir layar ponselmu ke atas hingga berjumpa "kata penghubung". Itulah alias dari konjungsi.Â
Bagaimana contoh penggunaannya? Jangan borong di sini, dong. Besok lagi kita lanjutkan. Cuma ada satu syarat, kalian berjanji akan menulis satu artikel yang memakai fasilitas konjungsi.