Hampir setahun saya bertapa di Gunung Cemas. Benar-benar bertapa sehingga menengok Kompasiana, selanjutnya saya singkat K, tidak saya lakukan. Jangankan semenit, sedetik pun tidak. Saya benar-benar ingin menjauh dari sorak-sorai dunia pertulisan dan perblogan. Meski begitu, K tetap saya rawat dalam ingatan sebagai yang tidak akan terlupakan.
Jadi, saya berharap Admin K tidak berduka walaupun saya tidak pernah bertandang ke K selama musim pengungsian. Lagi pula, saya memang menjauhi riuh rendah media sosial. Gantung sabuk di Facebook. Gulung tikar di Twitter. Tutup kios di Instagram. Kubur akun di WA. Semuanya. Kenapa? Karena saya tengah merampungkan sebuah kitab panduan bagi para pesilat pena.
Seminggu lalu saya turun gunung. Begitu muncul di Twitter, tiba-tiba ada yang menagih agar saya kembali setor muka di K. Tidak tanggung-tanggung. Ia meminta hasil terawangan saya tentang ketimpangan gender dalam KBBI. Mendadak saya melankolis. Kepala saya diserbu rasa sentimentil. Banyak kerabat di K yang mengundang rasa rindu. Bukan sekadar sapa basa-basi di bilik komentar, melainkan benar-benar bertegur sapa dari lubuk hati.
Pada kepulangan hari pertama, saya merasa persis orang asing di dukuh kelahiran. Nyaris tak ada warga yang saya kenal. Bahkan yang saya kenal pun kini sudah berbeda nama. Tilaria hilang. Romo hilang. Itu sekadar sebut nama. Untung masih ada Mbah Ukik, Pak Tjipta, Mbah Lohmenz, dan Pak Hensa. Aduh, sepuh semua. Tidak. Ada yang agak muda. Om Tedra dan Uda Zaldy. Sayang, mereka tidak doyan bercanda lagi.
Tiba-tiba ada yang sok akrab. Seolah-olah sudah lama mengenal saya. Om Gege namanya. Sungguh, saya kaget karena ada om-om yang sok kenal sok dekat. Semoga beliau tidak membaca tulisan ini.
Rindu Rumah Ramah
Begitu saya tiba di rumah teduh ini, saya langsung disambut dengan fasilitas baru. Premium. Saya kecewa. Bukan karena nilai uangnya, bukan.Â
Pertama, karena penggunaan bahasa Inggris. Kompasiana lambat laun makin kayak anak Jaksel. Bahasa dikira gado-gado. Apa susahnya pakai frasa Pengguna Premium? Sebagai bagian dari keluarga besar Kompas, saya heran mengapa K bisa sekebarat-baratan itu.Â
Tidak aneh, sih. Dulu saya juga sudah mengusulkan agar K menyembuhkan penyakit kekurangan vitamin E. Tidak ada perubahan. Rubrik karir tidak diubah menjadi karier. Malah event pun masih tetap event. Ah, sudahlah. Biarkan saja. Itu hak Panglima Nurulloh dan laskarnya. Apalah arti saran Eyang Sinto Gendeng ini.
Kedua, Premium ternyata gratis. Kata siapa berbayar? Saya bisa pakai premium tanpa bayar apa-apa, kok. Lumayan juga bisa terbebas dari iklan-iklan pemutih kulit, penghilang kutil, dan pelumas keriput. Hanya saja, masa bakti premium saya cuma dua minggu. Masa trial, kata Admin yang makin nginggris. Setelah dua minggu, ya, harus bayar jika ingin fasilitas level dewa.Â
Bukankah seharusnya K selalu rumah teduh bagi Kompasianer? Jika harus ada iuran premium baru bebas iklan, rasa-rasanya seperti layanan setengah hati. Lo, di atas bilang tidak apa-apa. Sekarang malah ngedumel.
Ketiga, kemewahan akun centang biru yang otomatis tulisannya dapat label "pilihan". Ini yang bikin Eyang Sinto Gendeng menggerundel. Dulu asyik. Sekali waktu, artikel berlabel "pilihan" itu ada kemungkinan benar-benar pilihan. Setidaknya artikel bersih dari tanda titik 10 biji atau tanda seru lima batang. Isinya oke, bingkai gagasan tokcer, penyajian moncer. Sekarang beda. Asal akunmu centang biru, otomatis tulisanmu dapat merek pilihan.
Jangan terlalu serius, Om Gege. Santai saja. Ikut gaya Mbah Ukik, dong.
Pulang ke rumah dengan suasana baru yang serba asing itu bikin limpung, Mas Tedra. Saya langsung disuguhi rupa-rupa tulisan. Dari kamar fiksiana hingga humaniora. Dari artikel politik hingga humor. Macam-macam. Bagus-bagus. Hebat-hebat. Ada Kompasianer yang selalu menyajikan tulisan bernas dan bergizi; ada yang muncul dengan gagasan ringan yang brilian; ada yang mengulik perkara berat dengan teknik menulis yang apik.
Itu bagian puja puji saya. Ada bagian caci maki. Mau tahu, Engkong Felix? Terus terang, makin banyak Kompasianer yang keteteran. Dari anggitan yang diagihkan di K, selaku pembaca saya sering ngos-ngosan. Bukan apa-apa. Beberapa artikel seperti robot yang lengan dan tungkainya tanpa otot dan sendi. Lebih kaku dari kanebo kering. Sapu ijuk saja kalah kaku. Setara dengan paku!
Saya sadis? Tidak, kok. Seturun dari Gunung Cemas, saya mulai mengamalkan ilmu mengilukan lidah agar tidak memilukan orang lain. Dulu saya bebas-bebas saja berkomentar. Mas A kurang fasih memakai preposisi, misalnya. Mbak B perlu melatih penggunaan kalimat aktif dan pasif, contohnya. Kak C seperti tidak pernah belajar cara memakai tanda koma, umpamanya.
Nah, artikel yang saya baca belakangan ini sering berasa seperti naik metromini yang enjot-enjotan. Jalan beraspal rata, tetapi pantat kita diungkat-ungkit. Tersendat-sendat. Maaf, saya segan sebut nama. Bukan karena takut, melainkan karena banyak. Artikel dengan jatah 1500 kata tidak akan cukup. Supaya tulisan ini ada sedikit manfaatnya, saya kasih tahu saja penyebabnya.
Saya percaya teman-teman Kompasianer rajin berlatih. Jadi, cobalah mulai meraut kemahiran menggunakan kata depan dan kata penghubung. Jadikan kalimat kalian dalam tiap alinea itu sambung-menyambung dengan mulus. Enteng, kan? Kalau kalian khatam dalam urusan memakai kata penghubung, percayalah bahwa tulisan kalian renyah baca.
Tunggu dulu. Jangan kira urusan kata penghubung atau konjungsi itu mudah. Ini saya kasih tahu, Bro Hadi. Ada konjungsi intrakalimat, ada konjungsi antarkalimat, ada pula konjungsi antaralinea. Ada konjungsi yang didahului tanda koma, ada yang diikuti tanda koma, ada yang tidak didahului atau diikuti oleh tanda koma.Â
Selebihnya, ada pula konjungsi yang berpasangan (bukan ..., melainkan ...; tidak ..., tetapi ...).
Rindu Guyon Receh
Saya yakin, teman Kompasianer pasti penasaran soal contoh penggunaan konjungsi. Masih ingat apa nama lain konjungsi, kan? Kalau lupa, gulir layar ponselmu ke atas hingga berjumpa "kata penghubung". Itulah alias dari konjungsi.Â
Bagaimana contoh penggunaannya? Jangan borong di sini, dong. Besok lagi kita lanjutkan. Cuma ada satu syarat, kalian berjanji akan menulis satu artikel yang memakai fasilitas konjungsi.
Terus, kapan saya ulas soal "Kompasiana Masih Rumah Teduh bagi Kompasianer"? Lo, jangan tanya saya. Tanya hati kalian masing-masing. Apakah kalian merasa K masih rumah teduh? Kalau ya, berarti masih teduh. Kalau tidak, ya, jangan kecewa atau jengkel.Â
Rumah gaduh dan ricuh kadang bikin kangen, kok! [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H