Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hentikan Eufemisme Dangkal dalam Penulisan Berita Pemerkosaan

12 Juli 2020   22:59 Diperbarui: 13 Juli 2020   05:49 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: aceh.tribunnews.com/Tribun Jateng

(1)

Pacaran di Tempat Sepi, Gadis Berusia 17 Tahun Digagahi Sejumlah Pria (tribunnews.com, 19 November 2018)

Sebenarnya saya ingin memprotes penjelasan usia korban, 17 tahun, tetapi bukan itu sumber utama kedongkolan saya. Coba lihat kata "digagahi". Kata itu dipakai sebagai substitusi kata "diperkosa". Woy, saya yakin korban yang diperkosa tidak kepikiran sedikit pun untuk membuat para pemerkosanya merasa gagah. Yang ada, ia jelas terluka.

Apakah jurnalis dan editor berita itu menganggap bahwa pemerkosaan adalah perbuatan yang dapat menyulap pelakunya menjadi gagah perkasa? Tidak, Bro. Tidak gagah sedikit pun. Memaksa orang kok dianggap gagah. Otak boleh sengklek, tulisan yang disebar ke hadapan khalayak usahakan tidak ikut koplak.

Gadis 16 Tahun Disetubuhi Ayah Kandung dan Pamannya selama 4 Tahun, Kini Korban Trauma Berat (aceh.tribunnews.com, 29 Mei 2020)

Kata disetubuhi berakar dari setubuh. Arti setubuh, di antaranya, adalah cocok atau sepakat. Dari akar kata saja sudah jelas bahwa diperkosa tidak patut ditukar dengan disetubuhi. Saya tidak yakin si gadis merasa cocok atau sepakat untuk bersetubuh dengan ayah dan pamannya.

Jadi, apa gunanya pertukaran kata itu? Tidak ada. Apakah penulis berita yakin bahwa si gadis sepakat untuk disetubuhi oleh ayah dan pamannya? Jika ya, dari mana asal informasinya? Kalau tidak ada sumber data yang valid, berarti itu bukan berita. Mending tulis opini saja biar bebas menuangkan pendapat pribadi dari isi otak yang diskriminatif.

Korban rudapaksa oleh 8 Pemuda Bangkalan Meninggal Dunia (liputan6.com, 9 Juli 2020)

Mengapa harus diksi rudapaksa yang dipakai pada judul dan isi? Kata rudapaksa dipungut dari bahasa Jawa. Artinya paksa atau perkosa. Benar kata itu sudah tercantum dalam KBBI V, tetapi belum tentu intim di telinga masyarakat di luar suku Jawa. Mengapa tidak menggunakan frasa korban perkosaan saja? Bukankah itu lebih terang, jelas, dan tegas?

Selain itu, berita tersebut menyamarkan nama pemerkosa. Okelah, asas praduga tak bersalah sudah terpenuhi. Bagaimana dengan stigma buruk yang diterakan pada korban? Dalam berita itu tercantum status korban, yakni janda. Mengapa status korban harus diperinci sedemikian rupa? Belum lagi kronologi kejadian yang memuat atau menyebut alamat peristiwa hingga nama bukitnya. 

Hal seperti itu sudah mengarahkan pembaca kepada korban sekalipun nama korban tidak disebutkan.

(2)

Saussure dalam Salvatore Attardo, Linguistics Theory of Humor (1994:165--166), membedakan empat tipe seri asosiasi, yaitu (1) berdasarkan akar kata, (2) berkaitan dengan awalan (prefiks) atau akhiran (sufiks), (3) berdasarkan makna, dan (4) berdasarkan  asosiasi bunyi. Keempat seri asosiasi itu yang saya jadikan patokan dalam menelaah penggantian leksem perkosa dengan kata lain dalam penulisan judul dan isi berita pemerkosaan di atas.

Dalam hal ini, Saussure mengatakan bahwa asosiasi akar dan makna merupakan bagian dari tipe hubungan paradigmatik yang dipunyai oleh kata-kata dalam leksikon. Hubungan paradigmatik itu, di sisi lain, memperjelas sifat psikologis kata yang berpilin erat dengan asosiasi mental.

Tiga contoh judul dan berita di atas merupakan bentuk konkret subtitusi kata yang memiliki asosiasi akar dan makna kata. Semua gara-gara tabu bahasa. Lantaran kata perkosa, memerkosa, pemerkosaan, dan perkosaan dianggap kasar, sebagian jurnalis melakukan akrobat kata-kata. Eufemisme. Penghalusan kata. 

Ajaibnya, kata yang mesti diperhalus justru tidak diperhalus. Contoh: gadis tuli digagahi oleh pamannya sendiri. Bisa diganti: Seorang paman memerkosa kemenakannya, seorang gadis tunarungu.

Berita, termasuk kabar pemerkosaan, harus jelas dan mudah dipahami. Dengan demikian, jurnalis sedapat mungkin menggunakan makna denotatif dan menghindari makna konotatif. Lebih jelasnya, jurnalis sebaiknya memakai makna kata yang sebenarnya alih-alih menggunakan makna kiasan. Gunakan pemerkosaan, bukan penggagahan. Pakai memerkosa, bukan menggagahi.

Agar jelas dan mudah dipahami, diksi dalam berita harus tertata rapi, terangkai dalam kalimat yang mengalir lancar sejak awal sampai akhir, menggunakan kata yang merakyat atau akrab di telinga masyarakat, serta tidak tersusun dengan kaku, formal, dan sulit dicerna. Hubungan antarkalimat perlu diperhitungkan agar pembacaan tidak tersendat-sendat dan pembaca tidak salah tafsir.

Berdasarkan telaah ringkas di atas, dapat dikatakan bahwa kata-kata yang dipakai sebagai pengganti leksem perkosa justru mengaburkan konteks peristiwa pemerkosaan. Pemerkosa diuntungkan, korban pemerkosaan dibuntungkan. Kata disetubuhi, digagahi, dan dirudapaksa memang memiliki relasi makna dengan diperkosa, tetapi bersifat diskriminatif terhadap korban.

(3)

Penulisan berita pemerkosaan, sebagaimana dengan kejahatan atau kriminal lain, harus taat pada kode etik jurnalistik dan undang-undang pers agar berita yang disampaikan sesuai dengan etika bahasa jurnalistik. Adapun etika bahasa jurnalistik dalam penulisan berita kriminal yang tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik berikut ini.

  1. Pasal 3, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
  2. Pasal 4, wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnalistik--tulisan, gambar, dan suara--yang menyesatkan, memutar balik fakta, bersifat fitnah, cabul, dan sensasional.
  3. Pasal 5, wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan asusila tidak merugikan pihak korban. Dalam penulisannya tidak boleh sangat detail mengenai kejadian tersebut dan memilih kata-kata yang tidak sensual atas tindakan yang dialami korban.

Pada hakikatnya pers berfungsi sebagai penyebar informasi. Agar fungsi tersebut berjalan dengan baik, pers harus mempunyai pijakan alasan yang tepat dalam menyajikan berita kriminal. Pers tidak boleh mempromosikan kejahatan kepada khalayak, tetapi menyiarkan berita kriminal dengan harapan agar masyarakat tidak melakukan hal serupa.

Itu sebabnya isi berita kriminal, terutama pemerkosaan, tidak boleh membeberkan detail peristiwa demi mencegah peniruan. Selain itu, berguna pula untuk mencegah dampak psikologis terhadap korban. Jurnalis harus menyadari bahwa berita yang memuat proses dan cara perkosaan secara terperinci dapat memicu trauma psikologis korban dan keluarganya.

Harus disadari bersama bahwa pemerkosaan merupakan peristiwa kekerasan seksual yang tergolong kasus tindakan kriminal berat, karena berakibat secara fisik dan secara psikis pada korbannya. Oleh karena itu, pemberitaan tentang peristiwa pemerkosaan sewajarnya tidak menerapkan eufemisme. Apa pun alasan dan tujuannya.

Jika eufemisme dilakukan supaya kejadian kriminal itu dapat disamarkan atas nama kesopanan, sekalian saja jangan diberitakan. Kalau tetap bersikeras memberitakan pemerkosaan, sebaiknya pergunakan diksi yang tepat untuk realisasi makna perbuatan pemerkosaan. Demi pertimbangan psikologis perempuan sebagai pihak yang menjadi korban, gunakan diksi yang tepat dan sesuai.

N diperkosa beramai-ramai oleh lima lelaki. Silakan ganti dengan: Lima laki-laki beramai-ramai memperkosa N. Jadikan pemerkosa sebagai subjek berita, bukan korban perkosaan.

Simbol-simbol yang mempertegas dominasi laki-laki atas perempuan, simbol maskulinitas, sebaiknya dikurangi. Kalau bisa, dihentikan. Simbol maskulinitas lumrahnya melekat pada teks berita melalui pemilihan kata, pelaku, narasumber, dan aparat hukum yang terlibat dalam pemberitaan. Kekerasan, kekuasaan, kekuatan, dan dominasi laki-laki atas perempuan menjadi hal yang paling banyak muncul dalam ketiga berita di atas.

Perempuan korban pemerkosaan cenderung digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri, baik di hadapan pelaku ketika pemerkosaan terjadi maupun di hadapan jurnalis dalam pemberitaan. Jurnalis menghimpun keterangan dari pihak keluarga korban, aparat hukum, dan narasumber ahli yang kebanyakan laki-laki.

Bunga (18), bukan nama sebenarnya, mengaku hamil bukan atas keinginannya. Ia mengaku diperkosa.

Metafora pada contoh menggunakan kata bunga. Makna bunga dalam konteks kalimat tersebut bukan 'tanaman hias', melainkan metafora dari keberadaan 'gadis yang cantik'. Nahasnya, metafora seperti itu jelas-jelas mengonstruksi diskriminasi terhadap perempuan.

Yakin tidak ada perempuan bernama "bunga"? Aih, sungguh berat menjadi perempuan! [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun